Pages

D.R.B

20.2.11

Tret 'The Art of War'

POST 1.
....


Cahaya mentari senja menerabas lewat celah-celah dedaunan maple yang kini jumlahnya terbilang menggenaskan (pohon yang menjadi tumpuannya sudah nyaris botak, well..), menguatkan fragmen slytherin muda yang berada sekian senti dari koordinat dimana pohon maple tersebut tumbuh. Seorang anak lelaki, selusin-belum-sampai usianya, dengan rambut gelap serta mata burgundy---genetik khas para Bradley (sejauh ini, belum ada seorang lain diluar penyandang nama Bradley yang memiliki warna mata senada); raut mukanya angkuh, terpahat kearogansian tak terbantah. Ia kurus, jangkung, punya tatapan malas yang terasa menikam---setajam sorot milik kaum ber-ordo Accipitriformes. Putra kedua La Cosa Nostra kenamaan Italy; Marcus Bradley, piatu sedari usianya baru mencapai pangkal bilangan asli. Bradley terakhir, untuk saat ini---dan untuk beberapa tahun ke depan.


Si keturunan Bradley ketigabelas..


Dimainkannya anak panah yang konon terbuat dari pahatan kayu terbaik itu sebelum akhirnya menduetkannya dengan sang busur. Pemuda separo Italia itu menatap bidikkannya lurus-lurus; pada sebuah dahan chestnut yang sedang kedatangan tamu sewujud lovebirds yang lagi dimabuk asmara...hh, bikin iri saja,


…CTAK!…
Sebuah anak panah melesat dengan kecepatan sekian nano detik (suruh orang fisika untuk menghitung berapa kecepatan, percepatan---dan yadda, yadda. Heh..). Dan panahnya tadi, tentu saja tepat mengenai sasaran. Sudah dibilang kan, dia ini pemanah handal. Masa’ memanah sasaran diam saja tidak bisa. Sombongnyaa..


Bagi bibit pendosa satu itu, adalah suatu hal yang menyenangkan melihat sepasang lovebirds tadi jadi terpaksa hijrah dari tempatnya dan menjengkel kendati kegiatan bercintanya yang khidmat harus terganggu. Meskipun, kini ia akui kalau ia merasa.. agak-agak menyesal. Seharusnya, tadi dia menjadikan salah satu lovebirds itu sebagai target panahan alih-alih pijakkannya (hey, hey..kau pikir ia menyesal karena apa? ..phew). Killing one---dan ia akan lebih berbahagia karenanya. Katanya, jenis burung yang satu itu setia hanya pada satu pasangan selama hidupnya, dan ketika pasangannya mati, kekasih yang ditinggalkan tidak lama kemudian akan ikut menyusul pasangannya. Akan mati juga, karena depresi. Ha-ha. Betapa..konyol. Kisah cintanya persis seperti kisah Romeo dan Juliet---dalam dunia perburungan, tentu.


Romantic, but tragic..


Uh-oh. Like he even care.. No’pe.


Fokus sepasang burgundy itu lalu terbuang pada gadis pirang yang tengah sibuk menggapai-gapai udara demi menangkap syalnya yang meliuk-liuk bebas terbawa angin Siberia yang sesekali berhembus cukup kencang (ia menyumpah-serapahi angin nakal macam begini, bisa mengganggu acara memanahnya, tsk). Beralih kemudian pada beberapa bibliomani yang tengah menghuni bawah pohon Ek di sebelah tenggara, layaknya perkumpulan sekte sesat. Lalu berhenti pada benda yang kini tengah dimainkan oleh salah satu cucu Godric..ah ya, itu bidikannya kali ini; selembar kertas warna yang tengah melayang-layang di angkasa. Bentuknya belah ketupat, ada semacam tali panjang nan kasat mata---semacam tali kekang, atau entah. Dan ada buntutnya. Mainannya para muggle. Kalau tidak salah, ia pernah beberapa kali melihat benda serupa menjadi sampah tak diundang di rumahnya, tersangkut di pohon-pohon yang ada di halaman.


Namanya..namanya..err,


..Layang-layang?


Kalau tidak salah, begitu benda itu disebutnya. Nama yang aneh, sama dengan wujudnya---sama dengan para cunguk yang memainkan.


Kembali diambilnya sebuah anak panah lainnya dengan satu gerakan sigap, mengangkat kembali busurnya yang tadi sempat diturunan perkara berleha barang sebentar. Diletakkannya proyektil tajam itu ditempat yang selayaknya, in Arrow rest.


Hening. Kecuali riuh percakapan dari beberapa individu yang menghuni halaman di sore hari, gemerisik dedaunan serta rumput-rumput, cicitcuit kaum aves dan suara tik-tak jarum arlojinya sendiri. Suasana yang dimanfaatkannya untuk lebih memfokuskan diri sejenak. Menambah daya konsentrasinya. Mengingat objeknya kini yang tak lagi diam, dengan level kesulitan yang lebih tinggi pula dari yang pertama.


Busur dalam genggamannya merenggang saat kembali dipertemukan dengan panah kekasihnya. Tatapannya berubah intens, nampak awas mengamati arah pergerakan layang-layang yang ukurannya memupus setengah kali dari ukuran sebenarnya (dikarenakan daya akomodasi matanya dengan jarak yang tercipta diantara keduanya).


Dear layang-layang,


Bergerak statis sebentar, bisa?




… …

… … …


Phew
---Target Locked.



...CTAK!…


“AKKKHH! Layanganku!”


Senyum, senyum, seringai. Tengik.


Si anak singa mengerang frustasi kendati layang-layangnya kini sudah tak lagi punya daya untuk terbang. Sudah koyak, sudah bolong di bagian tengah. Lantas ia mencari-cari oknum yang sudah meluncurkan anak panah pada benda mainannya, dan hanya mendapati seringai tengik mahamenyebalkan saat kelereng cokelatnya bersirobok pandang dengan lawannya yang berwarna burgundy.


“Akan kuganti dengan berpuluh-puluh layangan lain. Yang lebih bagus, yang lebih mahal.”


Ia berseru dengan volume yang terbilang tinggi. Jangan berharap ada kata-kata ‘maaf’ yang akan lolos dari kurva gandanya, karena harapan macam itu akan luntur seketika.


“Hey, you,”---Yes, you.. Danvers. “..wanna try?”


If you dare,



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Tret Zero Gravity

`The ends justifies the means.`
“Mmmhh…”


Sorotan matanya stagnan. Alisnya naik. Pupilnya bergulir liar, merefleksikan ulang lima rentetan kata yang dimuat dalam sebuah buku yang dipuji oleh Benito Mussolini dan konon menjadi benda yang senantiasa berada di bawah bantal para pemuka kenamaan dunia seperti Napoleon, Hitler, dan Stalin. I’ll Principe. Sebuah mahakarya dari satu filosof politik Italia, Niccolò Machiavelli; seorang dengan kontradiksi yang menarik. Di satu sisi ia dikutuk khalayak selaku b a j i n g a n tak bermoral---namun di sisi lain sosoknya dipuja selaku realis tulen yang berani memaparkan keadaan secara telanjang dan apa adanya.


Bradley ketigabelas itu membuang tatapannya sejenak dari buku bersampul cokelat nan usang yang dibuat hampir 480 tahun lalu itu dengan tolehan enggan. Melirik butiran-butiran kapas beku yang berdansa di sekitar, menikmati semilir angin dingin bulan Desember yang menyentil perkusi tulang. Tubuh tegap berbalut hoodie putihnya bersandar pada pohon mahogani yang statusnya sudah nyaris membotak---memperlihatkan sisa-sisa bukti betapa musim perontok pernah ambil bagian disana. Menyamarkan bentuk kaki hingga serupa segitiga sembarang. Lututnya terangkat, satu.


“..the ends justifies the---means?” Lisannya berujar tanpa intonasi.


Kepalanya yang tertutup surai gelap termangu kosong sejenak. Sirkuit otaknya berputar, mengobrak-abrik file yang tersimpan dalam bank memorinya, dan menyodorkan sebuah-dua buah file dari masa lalu. Tentang sebuah masa dimana seorang bocah dengan usia yang baru mencapai numera okta tengah bercengkrama dengan seorang pria tua yang rambutnya sudah memutih sebagian dan punya garis rahang tegas. Juga saat dimana seorang putra tengah bertikai kecil dengan sang Ayah perkara hal sepele.


Kalimat yang sama, persis.


Diucapkan oleh Rudolf, juga Marcus.


Pantaslah mereka berdua sama-sama keji. Sama-sama mengaku sebagai pengganti Dewa Kematian---yang berbeda hanyalah jalan yang dipilihnya. Satu memilih jalan kanan, satunya lagi memilih jalur yang sebelah kiri. Yang satu melakukannya dengan memanfaatkan kemampuan istimewa bernama sihir, yang lantas menjadikannya seorang buron bertahun-tahun lamanya dan berstatus tawanan Azkaban terhitung sejak dua tahun lalu. Dan satu lainnya lebih cerdik, memilih untuk menggunakan cara taktis a la muggle, menopengkan aksi dibalik nama besar organisasi mafia yang diketuainya agar tak mudah terendus media, juga kementrian sihir. Tujuannya sama; `Demi Kebaikan Yang Lebih Besar.`


Satu helaan nafas singkat. Telunjuk dan jari tengah berduet untuk menyentuh bagian kanan dahi. Matanya mengapresiasi bangunan gigantis tempat Hagrid bersemayam sekilas, kemudian menarik fokusnya kembali pada lembaran kitab tua yang dijuluki sebagai `petunjuk untuk para diktator` di tangannya. Kembali menekuninya, mengingat bahwa esok adalah batas pengembalian buku yang dipinjamnya dari perpustakaan lantai empat. Well.. sebenarnya ia sudah pernah membacanya (dia punya buka serupa di perpustakaan kastilnya, tentu), tapi masih banyak poin-poin yang ia tak begitu indahkan---seperti kalimat yang tadi.


Juga yang ini;
`There is nothing important than appearing to be realigious.`


Ia tertawa, sengau.



Adalah suatu hal yang perlu di ukir dalam benak, bahwa untuk sesuatu seperti ‘selera humor’ Deryck Rudolf memang berada agak di luar daftar.



Sebelah tangannya terangkat demi membenarkan posisi tudung hoodie yang warnanya nyaris menyatu dengan butiran salju yang mulai menggunung. Di senja hari dimana matahari yang tinggal separo timbul menyebarkan sinarnya, Slytherin muda itu memilih untuk membunuh waktu dan menunggu gelap datang dengan melakukan kegiatan layaknya para kaum bibliomani. Agak terlihat sedikit.. `freak`, ya. Orang macam apa yang bisa-bisanya memilih opsi untuk bercinta dengan buku di tempat yang jauh dari kata hangat---di alam bebas dengan butiran-butiran salju yang menempati sekitar teritori? Bahkan seorang bibliomani paling autis pun tak akan sebegitunya. Ck.



`It is much safer to be feared than loved because…love is preserved by the link of obligation which, owing to the baseness of men, is broken at every opportunity for their advantage;… …`


Telinganya menangkap bebunyian jamak dari dahan pohon maple yang berdiri persis disebelah pohon tempatnya bernaung, bersamaan dengan bunyi daun-daun terinjak berkemeresekan, dan derap langkah kaki yang mendekat. Anak lelaki itu memilih untuk bergeming dan tidak menoleh, hanya sepasang burgundy-nya yang bergerak liar. Melirik lewat sudut mata, meng-capture potret sebuah topi bundar besar dengan pita merah sebagai pemanis yang sedang tertambat di ranting yang letaknya kebetulan agak tinggi, untuk kemudian kembali menjatuhkan fokusnya pada halaman I’ll Principe.



Tak peduli.



`… but fear preserves you by a dread of punishment which never fails.`
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Infatuation

“Berikan ini padanya.”


“Oh, okay..”


Anak lelaki sebelas tahun, dengan mata burgundy dan rambut nyaris hitam. Mengenakan syal juga jaket, dan celana levis panjang serta sepatu keds. All black, kecuali syal sewarna salju yang melingkari lehernya. Berjalan keluar dari teritori ularnya yang bereuforia nyaris sama dengan pemakaman. Melintasi jalan remang dan minim cahaya (satu-satunya penerangan disana berupa obor—tak lebih), yang menurutnya lebih bisa disebut gorong tikus, sembari berharap bahwa gadis pirang yang menjadi kuli pengantar suratnya bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Dan surat serupa lembaran perkamen yang dilipat menjadi dua darinya bisa selamat sampai tujuan.


Dan dibaca. Dipahami. Dan datang.


Semua-muanya harus mulus sesuai rencana—atau begitulah inginnya, maunya, kehendaknya.


Setan—sifatnya merepotkan.


Langkah kakinya bergema nyaring di lorong bawah tanah, menjadi bunyi tunggal kala itu. Suasana sunyi, sepi—nyaris mati. Tak ada satupun anak yang ditemuinya disana. Diliriknya posisi jarum jam dari arloji platina yang melingkar di pergelangan tangan kiri, lalu mengangguk khidmat, seakan mahfum. Sudah masuk jam malam, saatnya para anjing penjaga berkeliaran mencari mangsa. Mereka yang berjiwa pengecut dan takut akan detensi mulai sibuk mengumpat dan menyembunyikan diri—dan Slytherin muda satu itu bersumpah, bahwa dirinya bukan termasuk golongan tersebut, kendati ia malah memilih untuk keluar dari asrama kali ini. Hey, ular pun memang seringkali kedapatan sedang bermutasi di malam hari, bukan? Heh.


Dipijakinya undakan batu pualam yang menjadi penghubung antara ruang bawah tanah dengan koridor lantai satu yang sekarang sedang lenggang. Figur seorang pria berperut buncit dalam lukisan menyambut kedatangannya disana sembari mengangkat gelas rhum, yang ditanggapinya dengan sebuah kedik pelan seraya berlalu. Diperhatikannya berkas-berkas sinar rembulan yang menelusup lewat celah-celah dan menjamahi dalam kastil, menilik dindingnya yang kokoh serta ornamen-ornamennya. Melakukan distorsi singkat sebelum akhirnya memasukkan kedua tangan ke dalam saku. Sebelah alis hitamnya naik ketika burgundy itu menangkap visual dari keberadaan sebuah tangga yang menjadi penghubung lantai demi lantai di hadapannya, disertai dengus.


Well, mari kita lihat apakah Deryck Rudolf bisa sampai di destinasi tanpa harus mengalami apa itu yang dinamakan ‘kesasar’.


Nyasar. Salah jalan. Hilang arah. Whatever you named.


Ini, adalah hal yang mati-matian ia rahasiakan dari entitas selain dirinya—juga lukisan-lukisan kardinal yang menghuni di setiap dinding kastil. Tak boleh sampai ada seorang pun yang tahu, bahwa Deryck.. seringkali nyasar setiap kali harus berhadapan dengan tangga bergerak yang—baginya terasa—laknat itu. Bahwa ia masih belum hapal sepenuhnya jalan—lebih tepatnya; kemana-arah-tangga-itu-bergerak—menuju lantai satu, dua, tiga.. hingga tujuh. Dan perihal dirinya yang sepertinya membutuhkan…peta, mungkin.


Tch…


Disetopnya laju kakinya yang terbilang jenjang itu saat mendapati dirinya yang sudah menjejak di lantai keempat dari kastil yang konon besarnya dua kali lipat dari Durmstrang. Hanya tinggal berjalan lurus, melewati satu belokan—dan sampai di destiny; Kelas Kosong. Satu tangannya yang sedari tadi bersemayam di saku melayang rendah demi mengacak surai gelapnya. Garis datar yang semula dipetakan pada wajah berubah menjadi timpang.


Timbul seringai.


Hanya sekali dia kesasar, di undakan tangga lantai tiga—phew. Ini rekor. Ha!


Sudut burgundy miliknya lalu menelisik sekitar, mengendus-endus ada-tidaknya kehadiran murid berlencana nyentrik disana. Diputarnya knop begitu suasana dirasa aman. Pintu kayu yang semula tertutup menjeblak dengan biadabnya, dan Bradley muda itu membawa raganya masuk ke dalam. Kosong—sesuai harapan. Dihempaskannya tubuh ke atas salah satu sofa berwarna darah yang cukup empuk disana, menjadikan sofa tersebut sebagai teritori-nya malam ini. Italia satu itu kemudian menumpuk kaki kanannya diatas lutut kiri sembari menaruh tas gitar yang sedari awal tersampir di punggungnya—melepasi resletingnya, lalu mengeluarkan selongsong gitar miliknya dari sana. Konon, benda itu dibuat dari kayu terbaik, serta senar yang langka. Dipesan khusus dari salah satu pabrik penghasil gitar Nomor Satu di Italy. Harga mencekik, kualitas necis. Dan ada ukiran namanya di bagian sisi; ‘Deryck Rudolf Bradley’.


Diletakkannya benda yang sengaja ia bawa dari kastilnya di Skotland dalam pangkuan. Jemari kiri menekan empat titik, sementara yang kanan mulai memetik senar dengan pick pada kunci Cadd9. Lalu G. Kemudian D—dan seterusnya. Menghasilkan intro dari sebuah lagu.


Masih menunggu kedatangan dia—yang dinanti.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Halloween Party; Aula Besar

Selagi benaknya nyaris tenggelam pada deretan aksara dalam sebuah buku tebal, lidah api di tungku perapian berderak dengan liarnya, tergoyahkan desau angin yang entah darimana berhembusnya. Radiasi telinganya menangkap suasana ruang rekreasi yang nyaris sunyi. Tak begitu mengherankan memang, mengingat koordinatnya kini bukanlah selapak dengan para titisan Godric sana—hanya saja agak sedikit.. tidak biasa. Pedulikah ia? N'ope, senyatanya suasana yang nyaris mati begini lah yang paling ia gemari.


“Bradley—“


Namanya disebut, memaksa pemuda separo Italia tersebut mengangkat kepala dari bacaannya sejenak. Ah, Myrrent Mosag rupanya. Si gadis platina yang pernah menjadi penemannya di suatu amalam tempo hari lalu—yang rumornya berelasi baik dengan seonggok singa ompong berotak kosong.


“Yes, Myrrent?” sahutnya kasual seraya menutup bukunya dengan satu sentakan pelan. Direnggutnya dua buku di sisinya yang agak berantakan, menatanya menjadi tumpukkan kecil. Memindahkannya ke bawah sofa. Nampak nerd memang dengan pose trademark kaum bibliomani begini, tapi apakah ini sebuah kesalahan, hm? Klasik. Tak hanya para gagak yang diijinkan untuk berkawan dengan buku, ular pun berhak. Dan Deryck Rudolf tak pernah merasa berkaum dengan mereka yang hanya mampu ber-bisa namun tidak berotak—yang hanya bisa bicara tapi cacat dalam berpikir.


Dan—pesta, katanya?


Tidak berminat sebenarnya, tapi rasanya tidak sopan menolak tawaran seorang gadis untuk menghadiri pesta entah-pesta-apa yang kini tengah di gelar di Aula.


“Well, tidak buruk sepertinya.”

Slytherin's

Ribuan kelelawar yang mengudara bebas, hiasan Jack O' Lantern, lalu aroma labu panggang..


Dua kata; 'Halloween Party'.


Almanak sudah merujuk penghujung bulan kedelapan rupanya. And the `All Hallows' Even` is coming to Hogwarts. Tak disangka kendati sekolahnya pun ternyata ikut merayakan `Noche de Las Brujas` layaknya sejumlah puak Eropa Tengah di masa lampau yang bertutur kata dengan subrumpun bahasa Keltik. Sebuah perayaan yang tak pernah punya daya pikat di mata si pemuda.


Ah, “Happy Halloween too, Myrrent.” gumamnya tenang seraya mengangkat piala (lagi-lagi) jus labu. Tatapannya menghangat, meski masih saja ia lalai tersenyum.


Deryck tidak merayakan tradisi yang dimuasalkan dari festival bangsa Galia Kuno (they-name-it; ‘Samhain’) seperti penghuni Hogwarts kebanyakan. Sejatinya Halloween adalah sebuah perayaan besar yang diperuntukkan untuk para moyang Keltz di alam baka yang telah lama mati, untuk nantinya diundang makan bersama. Dan ia bukanlah seorang Keltz, juga bukan termasuk dalam golongan bocah yang dengan riangnya akan sibuk berkeliling door-to-door demi mengemis dan minta diderma gula-gula ('Trick or Treat!' begitulah biasanya bunyi kicauannya, i-di-ot)—maka itu ucapan `Happy Halloween` dari Myrrent jadi terasa tak bermakna.


Kepalanya mendongak sedikit, sementara satu alisnya naik dalam interval berlebih. Agak merasa sedikit janggal bercampur ngeri kala menyadari posisi Jack O' Lantern yang begitu extreme—menggantung rendah dalam bentang jarak yang terbilang dekat dari kepalanya. Sekedar berharap jikalau tidak ada maksud terselubung dibalik penempatannya yang agak sedikit tidak wajar. Yea, barangkali Albus berniat jahil dengan labu-labu disana. Mengingat kepala sekolahnya yang terbilang nyentrik, hal nista macam begitu bukanlah bernilai tabu. Lagipula, ada sebuah jargon yang berpendapat bahwa semakin tua usia seseorang, maka semakin kekanakkanlah dirinya. Dan Albus adalah seorang tua.


Burgundy khas-nya bergerak liar menelusuri anak per-anak di bawah naungan panji Slytherin, nyaris tanpa minat. Disesapnya jus labu dalam pialanya, meneguknya tanpa suara. Masih saja bergeming tanpa arti, bahkan ketika seorang senior berambut merah muda tengah sibuk membagi-bagikan bunga. Hanya saja kurva gandanya kembali bermain saat gadis di sampingnya menanyakan perihal kepemilikan sebuah pesawat kertas yang mendarat diantara dirinya dan Myrrent. Datangnya dari Gryffindor, sarang mudblood dan darah pengkhianat—jelas bukan levelnya. Dan ia merasa tidak pernah punya urusan dengan satupun baboon disana.


"Not mine." ia mengedikkan kepala pelan ke arah meja perlambang singa disana, matanya menyipit, memandang hina sang oknum—yang ia duga adalah—pengirim benda yang dipertanyakan Myrrent tadi. Walvhere—or whatever his name, he doesn't really care. "It's yours."
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Tret '13' with Myrrent Mosag

Udara dingin menembus hoodie yang Deryck kenakan, menusuk kulit hingga menyentil sampai perkusi tulang. Desauan angin Siberia memainkan sedikit helaian rambut gelap yang gagal terlindungi tudung hoodie. Dihirupnya rakus udara disana, menghembuskannya lamat-lamat. Dibawah penerangan samar rembulan muda, Slytherin muda itu memilih untuk berada di ujung pelataran menara, berdiri diam sembari menunggu menit-menit menuju perdentangan jam yang konon teriset untuk berisik setiap kedua jarum jam bertumpuk di angka lusin.

Berbagai pikiran sedang berkecamuk ganas di benaknya kini. Genggaman tangannya mengerat, seolah hal itu mampu meremukkan bandul kalung berukiran numerik penunjuk turunan famili disana. Bedebah—emosinya jadi menyeruak tanpa permisi begini, hanya gara-gara selenting obrolan yang tidak sengaja terlahap oleh koklea miliknya tadi, obrolan mengenai angka…

Tiga Belas
—Angka satu berdempet tiga; yang penuh kontradiksi dan menuai kontroversi tiada henti.

Sigh.

Tiga belas. Disebut-sebut sebagai 'angka sial', si pembawa kekurang-beruntungan. Segala bentuk kesialan yang didapat akan langsung mendakwa bahwa si 13 adalah dalang dibalik semua kesialan, padahal ia berbuat dosa pun tidak.

Tiga belas. Diamini sebagai 'numerik satan', pembawa aura kegelapan. Sebagaimana layaknya 'satan'; patutnya dihindari demi cari aman dan sebisa mungkin tidak membuat suatu keterikatan apapun. Lihatlah para muggle idiot di luar sana, yang secara berjamaah meniadakan si 13 pada arsitektural kota serta gedung-gedung pencakar langit, bahkan sampai kasta teremeh macam kandang pacuan kuda dan kamar mandi sekalipun.

Berlebihan.
Mengaku berintelek, tahunya tolol jungkir balik. Sekrup otaknya sudah pada melonggar barangkali, letak otaknya pun rasanya sudah hijrah ke dengkul, hingga penerapan matematika dasar pun tidak paham. Habis angka 12, meloncat indah ke angka 14. Na'ah, hitungannya bego.

Bruno pernah berkata pada Ayahnya di suatu pagi; cobalah sesekali sempatkan diri untuk bertandang ke salah satu hotel berbintang di London untuk menikmati jamuan malam. Bawa rekan sejawat hingga semua bertotal tigabelas—maka akan ada penampakan dua kucing sewarna arang yang turut menjadi peneman, semata hanya biar jumlah penikmat jamuan makan tak tigabelas. ‘It's believed that one the 13 diners will die within a year’ begitulah sabda sang manajer hotel pabila keberadaan sang kucing dipertanyakan.

Contoh dekadensi otak yang tak kenal kata tanggung.

My my.. jemaat triskaideka-phobia adalah mayoritas rupanya. Terlihat dari tingginya jumlah massa yang kejeniusannya mengalahkan seekor keledai buduk; yang menaruh rasa takut berlebihan terhadap angka yang pabila digabung akan menjadi aksara ke-dua dalam alfabet.

Kinda.. pathetic.

Deryck Rudolf adalah seorang rasional, yang beranggapan bahwa kepercayaan orang-orang setengah sinting terhadap angka 13 itu seharusnya mati sejalan saja dengan arus modernisasi. Namun fakta berujar jikalau mitos tahyul macam itu ternyata tetap mengeksis tanpa cela, tak berhasil ditempa sang waktu—berkembang dengan begitu biadapnya malah. Ckckck.

Dihelanya nafas singkat, sementara burgundy-nya beralih pandang pada hamparan langit di atasnya. Tersadar akan penampakan horizon yang terasa ganjil kala ini. Suasananya jauh lebih benderang. Pendar bintang tiada henti memantulkan cahaya dalam citraan angkasa. Sinar rembulan menerobos awan-awan tipis, membias masuk ke dalam menara yang kini menjadi koordinatnya. Bulan separo saat ini.

Malam ini indah, seandainya ia tak sedang mati rasa.

Ekspresi wajahnya yang stagnan seakan menunjukkan kalau dia punya ekspresi pun tidak. Raganya pun mematung layaknya pose Gargoyle yang menghuni koridor si janggut panjang. Belakangan jiwanya seringkali kosong, benaknya rajin berkelana entah kemana. Usianya belum genap duabelas, tapi gayanya seakan sudah berusia kepala tiga; tipikal pemikir yang biasanya berjidat boros dan berambut tipis-licin-klimis.

Diliriknya malas jarum jam arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang tak henti bertik-tak sedari tadi. Ah, sudah lewat tengah malam, tak kerasa—dan ia belum didera kantuk juga. Insomnia lagi, eh? Mungkin.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Kelas PTIH

Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam.

Layaknya sebuah joke, pemuda itu tertawa dibuatnya.

Adalah sebuah kesalahan besar perkara penempatan seorang peranakan Bradley di Hogwarts. Gellert Grindelwald – Albus Dumbledore; hitam – putih; Durmstrang – Hogwarts—etcatera. Begitu berbeda, bisa dibilang keberadaannya disana mengkhianati takdir. Moyang Bradley terdahulu pasti sedang menggelinjang tak karuan dalam kuburnya mengetahui perihal runut keturunannya (yang begitu melegenda) dibuat menjadi kacau balau di generasinya yang bernumerik satan. Mereka lurus, sedari dulu—siapapun tahu itu. Sejarah tak pernah berdusta tentang betapa loyalnya klan penyihir Italia darah murni tersebut pada Grindelwald, Durmstrang, dan juga pada—kubu penyihir hitam. Rudolf pun bisa murka—bahkan bisa mati mendadak—di Azkaban sana kalau tahu bahwa sang putra semata wayang kebanggaannya, tanpa sepengetahuan dan seperijinannya, mengirimkan sang cucu kesayangan pada sekolah yang dikepalai oleh seorang Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore. Untunglah sang kabar belum menjamahi Azkaban, membuat si kakek renta itu masih bernafas sampai sekarang.

Bagaimanapun, Deryck benar-benar nampak seperti seorang yang tidak selayaknya untuk berada di Hogwarts, terlihat begitu salah tempat. Selera seorang ketua La Cosa Nostra seperti Marcus memang aneh, tak terjangkau oleh nalar sebelas tahunnya. Tiliklah mengenai studi yang sedang dan akan ia pelajari hingga tujuh tahun ke depan ini; Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, lalu hubungkan dengan studi utama di Durmstrang (tempat dimana para Bradley seharusnya berada); Ilmu Hitam. Yang satu melukai, satunya lagi melindungi. Kontras. Bagai Ying dan Yang. Seakan menjelaskan betapa Durmstrang dan Hogwarts adalah dua kubu yang saling bertentangan.

Kubunya adalah hitam—bukan putih. Lantas, kenapa ia harus repot mempelajari Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam selama beberapa tahun ke depan, eh? Mengesankan seolah-olah dia ini adalah jemaat golongan putih yang taat. Yang mengamini bahwa penggunaan sihir hitam itu terlarang. Pfft, lucu. Dia tidak se-Santo itu. Wajahnya memang nampak seperti santo saat sedang tersenyum (namun senyumnya itu langka)—tapi tidak begitu dengan aura-nya. Inside him self.. he is a ‘Lucifer’. Bahkan rasanya darah yang mengalir di nadinya sama sekali jauh dari kata suci, bersemayamkan darah-darah para pendosa di masa lalu.

Dan, alasan mengapa Hogwarts memberi asupan Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam ketimbang Ilmu Hitam, hm?

Alisnya terangkat. Tinggi.

Sekon berikut menyeringai, kecut.

Satu tangan terangkat sopan secara reflek, menunggu kesempatan untuk diijinkan angkat bicara—damn, betapapun, manner tetap harus dijaga—lalu membuka mulutnya kemudian, “Aku rasa kita mempelajari Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam alih-alih Ilmu Hitam karena kita—” frasanya sengaja ditahan, mengulum seringai, memetakan ekspresi stagnan legendarisnya, “—adalah penyihir ‘putih’.” Sebuah jawaban enigmatis, khas para naifis. As simple as that, meskipun dia agak geli saat mengucapkan tiga kata terakhir.. rasanya seperti memakai sebuah topeng, tahu.

Penyihir putih—dia sih bukan.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Kelas Transfigurasi

Ada seorang bijak yang bersabda; ‘Taruh atensi mu terhadap hal kecil, karena hal yang besar bermula dari hal yang kecil’—and, he did it.

Tak ada protes yang dilayangkan saat pengajar wanita tua renta di hadapannya berujar seputar materi kelas hari ini. Scaramouche, mengubah korek api menjadi jarum—kayu jadi logam, inanimate to inanimate. Mantra yang berada dalam klasifikasi terendah jika ditilik dari segi ketiadaan guna. Mengenai alasan diciptakannya mantra semacam ini.. he have no idea. Ah, bahkan rasanya ilmu Transfigurasi memang tidak jelas guna dan tidak penting-penting amat ‘kan? Sebuah seni metamorphosis yang terbilang aneh. Namun ia tetap berusaha untuk menerima, mencoba menikmati hal-hal dangkal macam korek-api-jadi-jarum meskipun otak inteleknya menolak mentah-mentah untuk menginput materi berkelas protozoa macam itu.

Deryck adalah seorang yang cenderung berpikir lateral—out of the box, istilah kerennya. Pola pikirnya bukan hanya sekedar berlingkup linear, mengikuti jalur konvensional yang hanya akan menghadapkannya pada suatu keadaan stagnan. Bukan. Segala hal yang berbau monotonitas tidak pernah dirasa punya daya pikat—tidak menarik, dan tidak tertarik. Alas, ada kalanya sesekali ia mengamini pepatah orang awam untuk berlaku layaknya padi. Kendati ia punya otak sedemikian cemerlang dan nalarnya hampir dipastikan sudah setingkat lebih unggul dari anak seusianya, ia pun harus tetap menaruh atensinya pada hal yang teremeh macam Scaramouche pun.

Si pemuda mendengus bosan. Satu tangannya memainkan tongkat Birch berkristalisasi naga Black Hebridean itu tak ubahnya sebatang pensil. Burgundy pelihatnya sengaja dimanuverkan sekilas, nomaden dari batok kepala satu ke batok kepala lainnya dari para peranakan Godric dan Salazar disana. Dipindainya satu-dua anak gagal dalam percobaan pertama—beberapa pula berhasil, bahkan ada pula yang setengah berhasil setengah gagal.

Konon, dalam studi Transfigurasi terdapat tiga poin penting, ada tiga kata kunci. Jika kuranglah salah satunya, maka gagal dipastikan adalah hasilnya. Poin pertama; konsentrasi. Lalu, ketepatan ayunan tongkat. Dan terakhir, pelafalan mantra yang sempurna.

Oh, well.. tangannya jadi gatal, ingin pula mencoba.

Fokusnya terkendali sudah, dihentaknya kemudian selenting Birch sepanjang 30,5 senti tersebut dengan mantap. Gerakan tangannya yang luwes memperlihatkan dirinya yang sudah terlatih memegang tongkat. Sebagai konklusi, Bradley muda itu pun berucap dengan nada lugas dan jelas,

“Scaramouche!”

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Kelas Mantera

Sosok kecil mungil, berambut bak anak remaja gaul era sembilan puluhan—belah tengah, kumis hitam mentereng, empat mata, dengan tinggi tubuh yang sungguh semampai (semester tak sampai). Sosok yang dianugerahi suara merdu layaknya tikus yang sedang kejepit pintu. Baju serta celananya diduga adalah satu merk dengan brand pakaian usia kanak-kanak. Kakinya yang kurang jenjang alhasil tenggelam sempurna dalam balutan bawahan yang dipakainya. Buku-buku tebal (yang sepertinya adalah curian dari ruangan di lantai empat) ditumpang tindih sedemikian rupa di atas kursi, dijadikan pijakan kaki agar tubuh mini-nya dapat beredar diantara capture mata setiap anak disana. Kumis menterengnya dari kejauhan nampak bagaikan ulat bulu, seringkali kedapatan menggeliat-geliat striptis saat bibir disana mulai bercuap-cuap. Dadanya membusung sok iye.

Sosok itu, Filius Flitwick namanya.

Tetua asrama para gagak, pantaslah kalau berjidat lega bak lapangan golf. Ha.

Ia pikir asrama yang dipenuhi para bibliomani itu akan dikepalai oleh figur yang terlihat bagai kaum cendekia pada umumnya, yang seperti Galileo Galilei, misalnya—bukan seperti anak balita bermuka boros dan kurang giji seperti Filius ‘tiny’ Flitwick. Biar di buat (sok) berwibawa pun tetap saja auranya berkhianat. Alih-alih memberi kesan bahwa ia berstatus pengajar, yang ada malah label bagaikan bocah playgroup kesasar, yang menggemaskan hingga membangkitkan gairah untuk mencubitnya. Oke, abaikan tujuh kata terakhir tadi—ia takut mendosa kendati telah menuai fitnah. Heh.

Alohomora, mantra untuk membuka pintu yang terkunci—yang statusnya berada dalam kasta mantra terdangkal. Mantra yang pastinya acapkali digunakan Marcus setiap kali ia menyudikan diri untuk ikut terjun aksi dalam kegiatan Mafia-nya.

Satu tarikan nafas pendek yang segera dihela perlahan, sebelum akhirnya memutuskan beranjak dan menuju pintu kelas yang terkunci. Sepasang burgundy itu menatap malas satu per satu punggung anak disana yang kini telah berejejer rapi membentuk barisan (semangat sekali, eh?). Sepintas menyentaknya pada ingatan di suatu hari di penghujung bulan okta lalu, dimana rombongan anak bebek angsa sedang mengantri untuk diukur si meteran melambai hanya demi untuk mendapatkan jubah. Tsk.

Satu tangan pemuda berdarah Italia itu disemayamkan dalam saku sementara satu tangan lainnya menggenggam selenting kayu Birch miliknya, lagaknya tak minat. Anak-per-anak yang berbaris di depannya bergerak ritmik, perlahan namun pasti, bergilir posisi. Dalam periode satu-dua menit, ia harus repot melangkahkan kakinya dan membawa serta raga pada satu langkah lebih depan. Tadi seorang baboon asrama singa yang jadi kepala barisan, menjadi perjaka yang memerawani sang pintu. Berlanjut, berlanjut, berlanjut—dan kini tibalah waktunya untuk Deryck Rudolf yang menjadi pangkal barisan.

“Alohomora.”

Satu sentilan tongkat malas-malasan, namun nada terlafal sedemikian lugas adanya. Pintu ber-klik ria, menjeblak dengan begitu biadabnya, secara implisit mempersilakan sang tuan muda Bradley untuk meninggalkan kelas.

Perlukah ia ber-say ‘goodbye’, eh? Rasanya tidak perlu.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO