Sosok kecil mungil, berambut bak anak remaja gaul era sembilan puluhan—belah tengah, kumis hitam mentereng, empat mata, dengan tinggi tubuh yang sungguh semampai (semester tak sampai). Sosok yang dianugerahi suara merdu layaknya tikus yang sedang kejepit pintu. Baju serta celananya diduga adalah satu merk dengan brand pakaian usia kanak-kanak. Kakinya yang kurang jenjang alhasil tenggelam sempurna dalam balutan bawahan yang dipakainya. Buku-buku tebal (yang sepertinya adalah curian dari ruangan di lantai empat) ditumpang tindih sedemikian rupa di atas kursi, dijadikan pijakan kaki agar tubuh mini-nya dapat beredar diantara capture mata setiap anak disana. Kumis menterengnya dari kejauhan nampak bagaikan ulat bulu, seringkali kedapatan menggeliat-geliat striptis saat bibir disana mulai bercuap-cuap. Dadanya membusung sok iye.
Sosok itu, Filius Flitwick namanya.
Tetua asrama para gagak, pantaslah kalau berjidat lega bak lapangan golf. Ha.
Ia pikir asrama yang dipenuhi para bibliomani itu akan dikepalai oleh figur yang terlihat bagai kaum cendekia pada umumnya, yang seperti Galileo Galilei, misalnya—bukan seperti anak balita bermuka boros dan kurang giji seperti Filius ‘tiny’ Flitwick. Biar di buat (sok) berwibawa pun tetap saja auranya berkhianat. Alih-alih memberi kesan bahwa ia berstatus pengajar, yang ada malah label bagaikan bocah playgroup kesasar, yang menggemaskan hingga membangkitkan gairah untuk mencubitnya. Oke, abaikan tujuh kata terakhir tadi—ia takut mendosa kendati telah menuai fitnah. Heh.
Alohomora, mantra untuk membuka pintu yang terkunci—yang statusnya berada dalam kasta mantra terdangkal. Mantra yang pastinya acapkali digunakan Marcus setiap kali ia menyudikan diri untuk ikut terjun aksi dalam kegiatan Mafia-nya.
Satu tarikan nafas pendek yang segera dihela perlahan, sebelum akhirnya memutuskan beranjak dan menuju pintu kelas yang terkunci. Sepasang burgundy itu menatap malas satu per satu punggung anak disana yang kini telah berejejer rapi membentuk barisan (semangat sekali, eh?). Sepintas menyentaknya pada ingatan di suatu hari di penghujung bulan okta lalu, dimana rombongan anak bebek angsa sedang mengantri untuk diukur si meteran melambai hanya demi untuk mendapatkan jubah. Tsk.
Satu tangan pemuda berdarah Italia itu disemayamkan dalam saku sementara satu tangan lainnya menggenggam selenting kayu Birch miliknya, lagaknya tak minat. Anak-per-anak yang berbaris di depannya bergerak ritmik, perlahan namun pasti, bergilir posisi. Dalam periode satu-dua menit, ia harus repot melangkahkan kakinya dan membawa serta raga pada satu langkah lebih depan. Tadi seorang baboon asrama singa yang jadi kepala barisan, menjadi perjaka yang memerawani sang pintu. Berlanjut, berlanjut, berlanjut—dan kini tibalah waktunya untuk Deryck Rudolf yang menjadi pangkal barisan.
“Alohomora.”
Satu sentilan tongkat malas-malasan, namun nada terlafal sedemikian lugas adanya. Pintu ber-klik ria, menjeblak dengan begitu biadabnya, secara implisit mempersilakan sang tuan muda Bradley untuk meninggalkan kelas.
Perlukah ia ber-say ‘goodbye’, eh? Rasanya tidak perlu.
Sosok itu, Filius Flitwick namanya.
Tetua asrama para gagak, pantaslah kalau berjidat lega bak lapangan golf. Ha.
Ia pikir asrama yang dipenuhi para bibliomani itu akan dikepalai oleh figur yang terlihat bagai kaum cendekia pada umumnya, yang seperti Galileo Galilei, misalnya—bukan seperti anak balita bermuka boros dan kurang giji seperti Filius ‘tiny’ Flitwick. Biar di buat (sok) berwibawa pun tetap saja auranya berkhianat. Alih-alih memberi kesan bahwa ia berstatus pengajar, yang ada malah label bagaikan bocah playgroup kesasar, yang menggemaskan hingga membangkitkan gairah untuk mencubitnya. Oke, abaikan tujuh kata terakhir tadi—ia takut mendosa kendati telah menuai fitnah. Heh.
Alohomora, mantra untuk membuka pintu yang terkunci—yang statusnya berada dalam kasta mantra terdangkal. Mantra yang pastinya acapkali digunakan Marcus setiap kali ia menyudikan diri untuk ikut terjun aksi dalam kegiatan Mafia-nya.
Satu tarikan nafas pendek yang segera dihela perlahan, sebelum akhirnya memutuskan beranjak dan menuju pintu kelas yang terkunci. Sepasang burgundy itu menatap malas satu per satu punggung anak disana yang kini telah berejejer rapi membentuk barisan (semangat sekali, eh?). Sepintas menyentaknya pada ingatan di suatu hari di penghujung bulan okta lalu, dimana rombongan anak bebek angsa sedang mengantri untuk diukur si meteran melambai hanya demi untuk mendapatkan jubah. Tsk.
Satu tangan pemuda berdarah Italia itu disemayamkan dalam saku sementara satu tangan lainnya menggenggam selenting kayu Birch miliknya, lagaknya tak minat. Anak-per-anak yang berbaris di depannya bergerak ritmik, perlahan namun pasti, bergilir posisi. Dalam periode satu-dua menit, ia harus repot melangkahkan kakinya dan membawa serta raga pada satu langkah lebih depan. Tadi seorang baboon asrama singa yang jadi kepala barisan, menjadi perjaka yang memerawani sang pintu. Berlanjut, berlanjut, berlanjut—dan kini tibalah waktunya untuk Deryck Rudolf yang menjadi pangkal barisan.
“Alohomora.”
Satu sentilan tongkat malas-malasan, namun nada terlafal sedemikian lugas adanya. Pintu ber-klik ria, menjeblak dengan begitu biadabnya, secara implisit mempersilakan sang tuan muda Bradley untuk meninggalkan kelas.
Perlukah ia ber-say ‘goodbye’, eh? Rasanya tidak perlu.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar