POST 1.
....
Cahaya mentari senja menerabas lewat celah-celah dedaunan maple yang kini jumlahnya terbilang menggenaskan (pohon yang menjadi tumpuannya sudah nyaris botak, well..), menguatkan fragmen slytherin muda yang berada sekian senti dari koordinat dimana pohon maple tersebut tumbuh. Seorang anak lelaki, selusin-belum-sampai usianya, dengan rambut gelap serta mata burgundy---genetik khas para Bradley (sejauh ini, belum ada seorang lain diluar penyandang nama Bradley yang memiliki warna mata senada); raut mukanya angkuh, terpahat kearogansian tak terbantah. Ia kurus, jangkung, punya tatapan malas yang terasa menikam---setajam sorot milik kaum ber-ordo Accipitriformes. Putra kedua La Cosa Nostra kenamaan Italy; Marcus Bradley, piatu sedari usianya baru mencapai pangkal bilangan asli. Bradley terakhir, untuk saat ini---dan untuk beberapa tahun ke depan.
Si keturunan Bradley ketigabelas..
Dimainkannya anak panah yang konon terbuat dari pahatan kayu terbaik itu sebelum akhirnya menduetkannya dengan sang busur. Pemuda separo Italia itu menatap bidikkannya lurus-lurus; pada sebuah dahan chestnut yang sedang kedatangan tamu sewujud lovebirds yang lagi dimabuk asmara...hh, bikin iri saja,
…CTAK!…
Sebuah anak panah melesat dengan kecepatan sekian nano detik (suruh orang fisika untuk menghitung berapa kecepatan, percepatan---dan yadda, yadda. Heh..). Dan panahnya tadi, tentu saja tepat mengenai sasaran. Sudah dibilang kan, dia ini pemanah handal. Masa’ memanah sasaran diam saja tidak bisa. Sombongnyaa..
Bagi bibit pendosa satu itu, adalah suatu hal yang menyenangkan melihat sepasang lovebirds tadi jadi terpaksa hijrah dari tempatnya dan menjengkel kendati kegiatan bercintanya yang khidmat harus terganggu. Meskipun, kini ia akui kalau ia merasa.. agak-agak menyesal. Seharusnya, tadi dia menjadikan salah satu lovebirds itu sebagai target panahan alih-alih pijakkannya (hey, hey..kau pikir ia menyesal karena apa? ..phew). Killing one---dan ia akan lebih berbahagia karenanya. Katanya, jenis burung yang satu itu setia hanya pada satu pasangan selama hidupnya, dan ketika pasangannya mati, kekasih yang ditinggalkan tidak lama kemudian akan ikut menyusul pasangannya. Akan mati juga, karena depresi. Ha-ha. Betapa..konyol. Kisah cintanya persis seperti kisah Romeo dan Juliet---dalam dunia perburungan, tentu.
Romantic, but tragic..
Uh-oh. Like he even care.. No’pe.
Fokus sepasang burgundy itu lalu terbuang pada gadis pirang yang tengah sibuk menggapai-gapai udara demi menangkap syalnya yang meliuk-liuk bebas terbawa angin Siberia yang sesekali berhembus cukup kencang (ia menyumpah-serapahi angin nakal macam begini, bisa mengganggu acara memanahnya, tsk). Beralih kemudian pada beberapa bibliomani yang tengah menghuni bawah pohon Ek di sebelah tenggara, layaknya perkumpulan sekte sesat. Lalu berhenti pada benda yang kini tengah dimainkan oleh salah satu cucu Godric..ah ya, itu bidikannya kali ini; selembar kertas warna yang tengah melayang-layang di angkasa. Bentuknya belah ketupat, ada semacam tali panjang nan kasat mata---semacam tali kekang, atau entah. Dan ada buntutnya. Mainannya para muggle. Kalau tidak salah, ia pernah beberapa kali melihat benda serupa menjadi sampah tak diundang di rumahnya, tersangkut di pohon-pohon yang ada di halaman.
Namanya..namanya..err,
..Layang-layang?
Kalau tidak salah, begitu benda itu disebutnya. Nama yang aneh, sama dengan wujudnya---sama dengan para cunguk yang memainkan.
Kembali diambilnya sebuah anak panah lainnya dengan satu gerakan sigap, mengangkat kembali busurnya yang tadi sempat diturunan perkara berleha barang sebentar. Diletakkannya proyektil tajam itu ditempat yang selayaknya, in Arrow rest.
Hening. Kecuali riuh percakapan dari beberapa individu yang menghuni halaman di sore hari, gemerisik dedaunan serta rumput-rumput, cicitcuit kaum aves dan suara tik-tak jarum arlojinya sendiri. Suasana yang dimanfaatkannya untuk lebih memfokuskan diri sejenak. Menambah daya konsentrasinya. Mengingat objeknya kini yang tak lagi diam, dengan level kesulitan yang lebih tinggi pula dari yang pertama.
Busur dalam genggamannya merenggang saat kembali dipertemukan dengan panah kekasihnya. Tatapannya berubah intens, nampak awas mengamati arah pergerakan layang-layang yang ukurannya memupus setengah kali dari ukuran sebenarnya (dikarenakan daya akomodasi matanya dengan jarak yang tercipta diantara keduanya).
Dear layang-layang,
Bergerak statis sebentar, bisa?
…
… …
… … …
Phew---Target Locked.
...CTAK!…
“AKKKHH! Layanganku!”
Senyum, senyum, seringai. Tengik.
Si anak singa mengerang frustasi kendati layang-layangnya kini sudah tak lagi punya daya untuk terbang. Sudah koyak, sudah bolong di bagian tengah. Lantas ia mencari-cari oknum yang sudah meluncurkan anak panah pada benda mainannya, dan hanya mendapati seringai tengik mahamenyebalkan saat kelereng cokelatnya bersirobok pandang dengan lawannya yang berwarna burgundy.
“Akan kuganti dengan berpuluh-puluh layangan lain. Yang lebih bagus, yang lebih mahal.”
Ia berseru dengan volume yang terbilang tinggi. Jangan berharap ada kata-kata ‘maaf’ yang akan lolos dari kurva gandanya, karena harapan macam itu akan luntur seketika.
“Hey, you,”---Yes, you.. Danvers. “..wanna try?”
If you dare,
POST 2
.....
Adakah yang tahu perkara Deryck Rudolf Bradley sebenarnya adalah seorang pemanah muda nan handal?
Selain Rudolf, Marcus, Sherlock, Matthew, Cardiff, Kievv, Francis---dan kesemua-mua pelayan yang mengabdi pada di kastilnya, tentu. Ada? Null barangkali. Sepertinya tidak ada yang tahu selain daripada oknum tersebut diatas. Tepatnya, belum ada yang tahu.
Bertahun ia berguru pada pemanah terhebat sepanjang masa yang pernah ia ketahui, pada kakeknya sendiri; yang namanya diabadikan sebagai nama tengahnya. Rudolf. Narapidana Azkaban, terhitung sejak dua tahun lalu hingga detik ini. Bukanlah merupakan sebuah kesalahan mengenai penempatan nama besar Rudolf dalam diri si Bradley ‘nyasar’ (semua juga tahu dimana seharusnya para Bradley berada; di Durmstrang sana---tak ada lain, seharusnya..well), karena darah tho tak pernah berdusta. Semakin matang usia, semakin terlihat pula dalam setiap nadinya mengalir deras darah siapa. Dan dalam konteks ini, darahnya didominansi oleh darah si kakek tua keras kepala satu itu. Darah seorang Rudolf Guffonvick Bradley.
Sepanjang yang pemuda itu ingat, kakeknya adalah gambaran seorang jemaat sekte penyihir hitam yang taat. Yang tak pernah segan untuk beringan-tangan membantu Dewa Kematian dalam menjalankan tugasnya tanpa perlu dipinta. Yang merapalkan mantra selevel `Avada Kedavra` seenteng ia menghela nafas. Sosok yang disegani, sekaligus ditakuti. Cari perkara dengannya sama saja bernilai mati. Rudolf, disebut-sebut sebagai turunan Bradley yang paling hitam dalam sejarah. Ia kejam, juga sadis. Banyak pula yang bilang, ia tak ber peri-kemanusiaan. Dan totalitasnya pada penyihir hitam bukan untuk diragukan.
Pada setiap orang, Rudolf dikenal tak pernah punya pengampunan (bahkan Tuhan pun tak pernah sebegininya..). Mungkin ada pengecualian untuk mendiang istri tercinta, sang putra, juga cucunya. Terlebih-lebih kepada sang cucu kesayangan. Pada Deryck, Rudolf..jadi agak-agak jinak merpati. Vice-versa. Kesan akan dirinya yang gelap seolah luntur dimata cucunya yang nomer dua. Bahkan di mata Deryck, figur Rudolf adalah bernilai sebelas-duabelas dengan Sinterklas; yang hangat, baik hati, bersahabat, dan bersahaja. Ah.. untuk keempat sifat yang terakhir itu, ia tak bisa bilang bahwa mereka sealiran. Heh.
Tapi setidaknya, ia dan Rudolf sama-sama berbakat dalam hal memanah.
Ekor mata burgundy itu serta merta melirik Danvers dan si anak singa pemilik layangan yang tadi ia hancurkan dengan sengaja. Tersenyum mencemooh saat mendapati rekan asramanya yang nampak akrab dengan utusan asrama baboon, bantu me'reparo'kan layangan yang sudah cacat menjadi kembali utuh. My..my. Baik hati benar---si Danvers itu. Dan, hey, jangan kira ia juga punya sifat baik hati kendati tadi sempat menjanjikan ‘sesuatu yang lebih besar’ pada si anak layangan. Ucapannya tadi, tak lebih dari sekedar janji Sinterklas untuk memberikan hadiah bagi mereka, anak-anak yang berbuat baik sepanjang tahun. hanyalah sebuah omong kosong belaka. No offense. Mana ia sudi, sih. Ha-hah.
“Tidak tertarik---atau.. tidak bisa?”
Seringai menyebalkan, alis naik sebelah—dan tawa remeh kemudian.
“Sering,” berduel dengan Sherlock, sang musuh bebuyutan---dan ia samasekali tak pernah mengecap kemenangan.. f-ck. Ilmu kakak lelakinya itu sudah enam tingkat diatasnya. Jadi, ya, wajar saja. Meski tidak menutup kemungkinan juga bahwa suatu hari nanti dirinyalah yang akan keluar sebagai pemenang..ah, itu harus. Ya, harus. “Kenapa? Kau ingin mengajakku berduel, eh?” lisannya kembali berlanjut, kental nada provokasi. Memancing. Ia sedang ingin mempercundangi seseorang, omong-omong.
Dan sebuah kedik kepala pelan untuk rekan asramanya yang lain; Nadav Arhanovich. Si tangan kidal. Yang baru saja datang dan segera mengambil busur serta anak panah bagiannya. Dan---CTAK!---anak panah begitu cepat dilepaskan Nadav dan berhasil menumbangkan seekor burung kecil dari peraduannya di atas pohon, membuat si hewan malang tergeletak diam diatas tanah. “Kau, boleh juga.” Ia berkomentar dengan raut wajah datar seperti biasa, turunan genetika. Tak berminat untuk memuji, sebenarnya.
"Wohoo. Giliranmu?"
Reflek, pemuda Skotlandia itu mengedik malas pada Danvers---silahkan artikan perilaku itu sebagai ucapan atau respek jika otakmu cerdas.
I dare you, kiddo...
(smirk)
Si keturunan Bradley ketigabelas..
Dimainkannya anak panah yang konon terbuat dari pahatan kayu terbaik itu sebelum akhirnya menduetkannya dengan sang busur. Pemuda separo Italia itu menatap bidikkannya lurus-lurus; pada sebuah dahan chestnut yang sedang kedatangan tamu sewujud lovebirds yang lagi dimabuk asmara...hh, bikin iri saja,
…CTAK!…
Sebuah anak panah melesat dengan kecepatan sekian nano detik (suruh orang fisika untuk menghitung berapa kecepatan, percepatan---dan yadda, yadda. Heh..). Dan panahnya tadi, tentu saja tepat mengenai sasaran. Sudah dibilang kan, dia ini pemanah handal. Masa’ memanah sasaran diam saja tidak bisa. Sombongnyaa..
Bagi bibit pendosa satu itu, adalah suatu hal yang menyenangkan melihat sepasang lovebirds tadi jadi terpaksa hijrah dari tempatnya dan menjengkel kendati kegiatan bercintanya yang khidmat harus terganggu. Meskipun, kini ia akui kalau ia merasa.. agak-agak menyesal. Seharusnya, tadi dia menjadikan salah satu lovebirds itu sebagai target panahan alih-alih pijakkannya (hey, hey..kau pikir ia menyesal karena apa? ..phew). Killing one---dan ia akan lebih berbahagia karenanya. Katanya, jenis burung yang satu itu setia hanya pada satu pasangan selama hidupnya, dan ketika pasangannya mati, kekasih yang ditinggalkan tidak lama kemudian akan ikut menyusul pasangannya. Akan mati juga, karena depresi. Ha-ha. Betapa..konyol. Kisah cintanya persis seperti kisah Romeo dan Juliet---dalam dunia perburungan, tentu.
Romantic, but tragic..
Uh-oh. Like he even care.. No’pe.
Fokus sepasang burgundy itu lalu terbuang pada gadis pirang yang tengah sibuk menggapai-gapai udara demi menangkap syalnya yang meliuk-liuk bebas terbawa angin Siberia yang sesekali berhembus cukup kencang (ia menyumpah-serapahi angin nakal macam begini, bisa mengganggu acara memanahnya, tsk). Beralih kemudian pada beberapa bibliomani yang tengah menghuni bawah pohon Ek di sebelah tenggara, layaknya perkumpulan sekte sesat. Lalu berhenti pada benda yang kini tengah dimainkan oleh salah satu cucu Godric..ah ya, itu bidikannya kali ini; selembar kertas warna yang tengah melayang-layang di angkasa. Bentuknya belah ketupat, ada semacam tali panjang nan kasat mata---semacam tali kekang, atau entah. Dan ada buntutnya. Mainannya para muggle. Kalau tidak salah, ia pernah beberapa kali melihat benda serupa menjadi sampah tak diundang di rumahnya, tersangkut di pohon-pohon yang ada di halaman.
Namanya..namanya..err,
..Layang-layang?
Kalau tidak salah, begitu benda itu disebutnya. Nama yang aneh, sama dengan wujudnya---sama dengan para cunguk yang memainkan.
Kembali diambilnya sebuah anak panah lainnya dengan satu gerakan sigap, mengangkat kembali busurnya yang tadi sempat diturunan perkara berleha barang sebentar. Diletakkannya proyektil tajam itu ditempat yang selayaknya, in Arrow rest.
Hening. Kecuali riuh percakapan dari beberapa individu yang menghuni halaman di sore hari, gemerisik dedaunan serta rumput-rumput, cicitcuit kaum aves dan suara tik-tak jarum arlojinya sendiri. Suasana yang dimanfaatkannya untuk lebih memfokuskan diri sejenak. Menambah daya konsentrasinya. Mengingat objeknya kini yang tak lagi diam, dengan level kesulitan yang lebih tinggi pula dari yang pertama.
Busur dalam genggamannya merenggang saat kembali dipertemukan dengan panah kekasihnya. Tatapannya berubah intens, nampak awas mengamati arah pergerakan layang-layang yang ukurannya memupus setengah kali dari ukuran sebenarnya (dikarenakan daya akomodasi matanya dengan jarak yang tercipta diantara keduanya).
Dear layang-layang,
Bergerak statis sebentar, bisa?
…
… …
… … …
Phew---Target Locked.
...CTAK!…
“AKKKHH! Layanganku!”
Senyum, senyum, seringai. Tengik.
Si anak singa mengerang frustasi kendati layang-layangnya kini sudah tak lagi punya daya untuk terbang. Sudah koyak, sudah bolong di bagian tengah. Lantas ia mencari-cari oknum yang sudah meluncurkan anak panah pada benda mainannya, dan hanya mendapati seringai tengik mahamenyebalkan saat kelereng cokelatnya bersirobok pandang dengan lawannya yang berwarna burgundy.
“Akan kuganti dengan berpuluh-puluh layangan lain. Yang lebih bagus, yang lebih mahal.”
Ia berseru dengan volume yang terbilang tinggi. Jangan berharap ada kata-kata ‘maaf’ yang akan lolos dari kurva gandanya, karena harapan macam itu akan luntur seketika.
“Hey, you,”---Yes, you.. Danvers. “..wanna try?”
If you dare,
POST 2
.....
Adakah yang tahu perkara Deryck Rudolf Bradley sebenarnya adalah seorang pemanah muda nan handal?
Selain Rudolf, Marcus, Sherlock, Matthew, Cardiff, Kievv, Francis---dan kesemua-mua pelayan yang mengabdi pada di kastilnya, tentu. Ada? Null barangkali. Sepertinya tidak ada yang tahu selain daripada oknum tersebut diatas. Tepatnya, belum ada yang tahu.
Bertahun ia berguru pada pemanah terhebat sepanjang masa yang pernah ia ketahui, pada kakeknya sendiri; yang namanya diabadikan sebagai nama tengahnya. Rudolf. Narapidana Azkaban, terhitung sejak dua tahun lalu hingga detik ini. Bukanlah merupakan sebuah kesalahan mengenai penempatan nama besar Rudolf dalam diri si Bradley ‘nyasar’ (semua juga tahu dimana seharusnya para Bradley berada; di Durmstrang sana---tak ada lain, seharusnya..well), karena darah tho tak pernah berdusta. Semakin matang usia, semakin terlihat pula dalam setiap nadinya mengalir deras darah siapa. Dan dalam konteks ini, darahnya didominansi oleh darah si kakek tua keras kepala satu itu. Darah seorang Rudolf Guffonvick Bradley.
Sepanjang yang pemuda itu ingat, kakeknya adalah gambaran seorang jemaat sekte penyihir hitam yang taat. Yang tak pernah segan untuk beringan-tangan membantu Dewa Kematian dalam menjalankan tugasnya tanpa perlu dipinta. Yang merapalkan mantra selevel `Avada Kedavra` seenteng ia menghela nafas. Sosok yang disegani, sekaligus ditakuti. Cari perkara dengannya sama saja bernilai mati. Rudolf, disebut-sebut sebagai turunan Bradley yang paling hitam dalam sejarah. Ia kejam, juga sadis. Banyak pula yang bilang, ia tak ber peri-kemanusiaan. Dan totalitasnya pada penyihir hitam bukan untuk diragukan.
Pada setiap orang, Rudolf dikenal tak pernah punya pengampunan (bahkan Tuhan pun tak pernah sebegininya..). Mungkin ada pengecualian untuk mendiang istri tercinta, sang putra, juga cucunya. Terlebih-lebih kepada sang cucu kesayangan. Pada Deryck, Rudolf..jadi agak-agak jinak merpati. Vice-versa. Kesan akan dirinya yang gelap seolah luntur dimata cucunya yang nomer dua. Bahkan di mata Deryck, figur Rudolf adalah bernilai sebelas-duabelas dengan Sinterklas; yang hangat, baik hati, bersahabat, dan bersahaja. Ah.. untuk keempat sifat yang terakhir itu, ia tak bisa bilang bahwa mereka sealiran. Heh.
Tapi setidaknya, ia dan Rudolf sama-sama berbakat dalam hal memanah.
Ekor mata burgundy itu serta merta melirik Danvers dan si anak singa pemilik layangan yang tadi ia hancurkan dengan sengaja. Tersenyum mencemooh saat mendapati rekan asramanya yang nampak akrab dengan utusan asrama baboon, bantu me'reparo'kan layangan yang sudah cacat menjadi kembali utuh. My..my. Baik hati benar---si Danvers itu. Dan, hey, jangan kira ia juga punya sifat baik hati kendati tadi sempat menjanjikan ‘sesuatu yang lebih besar’ pada si anak layangan. Ucapannya tadi, tak lebih dari sekedar janji Sinterklas untuk memberikan hadiah bagi mereka, anak-anak yang berbuat baik sepanjang tahun. hanyalah sebuah omong kosong belaka. No offense. Mana ia sudi, sih. Ha-hah.
“Tidak tertarik---atau.. tidak bisa?”
Seringai menyebalkan, alis naik sebelah—dan tawa remeh kemudian.
“Sering,” berduel dengan Sherlock, sang musuh bebuyutan---dan ia samasekali tak pernah mengecap kemenangan.. f-ck. Ilmu kakak lelakinya itu sudah enam tingkat diatasnya. Jadi, ya, wajar saja. Meski tidak menutup kemungkinan juga bahwa suatu hari nanti dirinyalah yang akan keluar sebagai pemenang..ah, itu harus. Ya, harus. “Kenapa? Kau ingin mengajakku berduel, eh?” lisannya kembali berlanjut, kental nada provokasi. Memancing. Ia sedang ingin mempercundangi seseorang, omong-omong.
Dan sebuah kedik kepala pelan untuk rekan asramanya yang lain; Nadav Arhanovich. Si tangan kidal. Yang baru saja datang dan segera mengambil busur serta anak panah bagiannya. Dan---CTAK!---anak panah begitu cepat dilepaskan Nadav dan berhasil menumbangkan seekor burung kecil dari peraduannya di atas pohon, membuat si hewan malang tergeletak diam diatas tanah. “Kau, boleh juga.” Ia berkomentar dengan raut wajah datar seperti biasa, turunan genetika. Tak berminat untuk memuji, sebenarnya.
"Wohoo. Giliranmu?"
Reflek, pemuda Skotlandia itu mengedik malas pada Danvers---silahkan artikan perilaku itu sebagai ucapan atau respek jika otakmu cerdas.
I dare you, kiddo...
(smirk)
POST 3
.......
Tick-tock…Alexander Danvers tak juga menjawab pertanyaan yang ia ajukan, membuat Italia satu itu mengambil sebuah simpulan; bahwa rekan asramanya itu mendadak menjadi seorang bisu---atau terkena mantra silencio nyasar, mungkin. Karena, ya.. apa sulitnya berkata ‘ya-aku-tidak-bisa-memanah‘ atau ‘ya-aku-ingin-mengajakmu-berduel’? Kenapa memilih diam, padahal punya mulut untuk mengucap lisan? Mana Slytherin yang katanya pandai bersilat lidah?
Dan Deryck menyukai memanah, sebesar rasa bencinya akan hal semacam omongannya diacuhkan oleh si lawan bicara. Ck.
”Lemme try.”
Ia mengerling santai pada si pemuda berdarah Russin yang baru saja datang. Si pemilik burung perlambang kematian yang kini sedang antusias melahap bangkai hasil panahan Si Tangan Kidal---Nadav. Si Vicodin putra Henrique. “Nih..” Diserahkannya lalu busur beserta anak panahnya pada rekannya yang---berdasarkan hasil pengamatannya sebagai teman sekamar---paling betah berada di dalam kamar mandi dan lebih memilih untuk tidak sering berada di luar kastil saat musim panas lalu. Vicodin takut hitam, barangkali, seperti anak perempuan saja..si Russin satu itu.
Diperhatikannya Vicodin yang tengah membidik sasarannya, pada sebuah apel hijau yang tengah digigit salah seorang anak berkromosom kembar seraya berkomentar dalam hati; `Tanganmu kurang begini, jarimu kurang kesini. Panahanmu minim presisi, Moron.`Semacam itu. Peluang panahan tersebut yang mangkir dari sasaran sekitar 25 persen, hanya menebak, salah-benar itu urusan lain. Semoga saja tidak meleset, akan jadi sebuah perkara panjang kalau-kalau anak panah itu tertancap di salah satu titik di bagian tubuh si gadis pemakan apel.
CTAK!
Sang gadis memekik nyaring, tepat ketika sebuah anak panah dilepaskan Henrique. Bukan karena ada bagian dalam dirinya yang terkena proyektil tajam itu, hanya sebuah bentuk ekspresi dari sebuah keterkejutan ketika mendapati sebuah anak panah menancap pada apelnya. Pertanda bahwa reflek yang dimiliki gadis tersebut masih bagus. Heh.
“Not bad.” sahut Slytherin muda itu efisien. Ikut memuji kepiawaian Henrique yang sebelumnya ia ragukan---menertawai tebakannya yang salah. “Kupikir akan meleset tadi.” lanjutnya kasual seraya tersenyum tengik, namun Henrique tidak akan melihatnya karena ia berpaling demi mengambil satu paket panahan yang tergeletak di bawah pohon maple. Ia bawa tiga---dan dua sudah dipegang oleh Arhanovich serta Henrique. Dan sebuah suara menelusup masuk mengusik membran timpaninya kemudian, membuat pemuda itu menoleh jengah ke arah Danvers yang sedang berkoar mengenai ia yang labih suka bermain dengan tongkat dan mantra ketimbang busur dan anak panah. Tsk. Sudah sembuh dari penyakit bisu sesaat rupanya, kau, eh? “Simpan saja tongkatmu Danvers.” Bahkan ia pun tak punya niatan untuk mengeluarkan Birch miliknya dari dalam saku!
Pemuda Skotlandia itu kembali memposisikan dirinya seperti semula. Berdiri tegap dengan kedua tangan menggenggam busur serta anak panah. Melirik rumput-rumput beberapa depa yang menjadi batas halaman dengan bangunan kastil Hogwarts, tangkai-tangkai daffodil yang melambai anggun tertiup semilir angin khas musim gugur, sepasang Jaybirds diatas pohon Ek, seekor anak tupai yang sedang berlarian di akar pohon, dan…
…CTAK!…
Anak panah ketiga; untuk bokong tupai kecil yang tadi sedang berusaha memanjat sembari membawa beberapa biji kenari untuk persediaan selama musim dingin. Ia menyeringai singkat sebelum akhirnya berpaling pada Danvers yang tengah asik menyiksa seekor burung kecil---membekukannya untuk kemudian membumihanguskan. My..my. Bocah itu… seperti mudblood yang baru kenal dengan tongkat dan ilmu sihir saja.
“Berduel mantranya lain kali saja.” Ia berseru kemudian, nadanya malas.
Mana seru berduel kalau mantra yang mereka miliki saja terbatas---hanya selingkup kecil yang diijinkan oleh Hogwarts, hanya sepuluh, mana mantra kasta sudra semua. Ah, andai saja tidak ada pembatasan untuk penggunaan mantra, pastinya akan lebih mudah untuk mendapati pisaunya berada di tengkuk para senior---terlebih yang berlencana dan sok iye itu---tanpa harus berurusan dengan detensi. Dunia… pasti jadi lebih indah..
Deryck tertawa sengau, dalam hati turut mengamini ucapan Nadav tentang Danvers yang sedang berkilah karena takut---dan sengaja mengalihkan tantangannya untuk ikut memanah, membelokkan topik pada duel mantra. Jangan-jangan… ular muda satu itu tidak bisa memanah. Apa latar belakang keluarga Danvers, eh? Russin seperti Vicodin, kabarnya? Bangsawan atau kelas menengah? Sepertinya opsi kedua. Karena sepengetahuannya memanah adalah salah satu kegiatan yang cukup diminati di kalangan keluarga bangsawan.
Dan seorang Klamences rupanya memilih menjadi pengikut Danvers.
Jadi... dua lawan tiga, hm?
…CTAK!...
Kali ini ia melepaskan anak panahnya tepat di sisi sebelah kanan telinga seorang anak lelaki naungan asrama Hufflepuff. Membuat si anak yang tengah menyenderkan raga dalam naungan pohon Poplar disana mematung beberapa lama perkara shock.
Burgundy-nya lalu melirik datar ke arah Perceval yang meminjam panahannya. Melengkungkan alisnya yang berwarna arang secara reflek. “Kukira kau sepaham dengannya.” balasnya santai seraya menunjuk sosok Danvers dengan dagu. Sekarang... jadi satu lawan empat---Danvers kalah telak. “Ah, ya. Ini…” lingua kembali berlanjut. Dipindah-tangankannya peralatan memanahnya pada Perceval.
Dan seorang gagak hadir, menyerahkan diri dalam sekumpulan ular yang sedang lapar.
Mari kita pecundangi, patuki sampai mati.
Ha! Bercanda---tapi dianggap serius sah-sah saja, sih.
Phew.
Seringai sataniknya muncul bersamaan dengan Nadav yang mulai mendesis berbahaya pada Altair Si Gagak. Tertawa renyah saat burgundy-nya memvisualisasikan Si Tangan Kidal yang menggoda anak itu, menjadikannya seolah-olah putra Quin tersebut adalah bidikkannya. Dan sang Bradley hanya memilih bergeming, menyidekapkan kedua tangannya di dada. Dan ia bersiul, menunggu...
...karena setiap ular selalu memburu mangsanya sendirian.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar