Pages

D.R.B

20.2.11

Tret Zero Gravity

`The ends justifies the means.`
“Mmmhh…”


Sorotan matanya stagnan. Alisnya naik. Pupilnya bergulir liar, merefleksikan ulang lima rentetan kata yang dimuat dalam sebuah buku yang dipuji oleh Benito Mussolini dan konon menjadi benda yang senantiasa berada di bawah bantal para pemuka kenamaan dunia seperti Napoleon, Hitler, dan Stalin. I’ll Principe. Sebuah mahakarya dari satu filosof politik Italia, Niccolò Machiavelli; seorang dengan kontradiksi yang menarik. Di satu sisi ia dikutuk khalayak selaku b a j i n g a n tak bermoral---namun di sisi lain sosoknya dipuja selaku realis tulen yang berani memaparkan keadaan secara telanjang dan apa adanya.


Bradley ketigabelas itu membuang tatapannya sejenak dari buku bersampul cokelat nan usang yang dibuat hampir 480 tahun lalu itu dengan tolehan enggan. Melirik butiran-butiran kapas beku yang berdansa di sekitar, menikmati semilir angin dingin bulan Desember yang menyentil perkusi tulang. Tubuh tegap berbalut hoodie putihnya bersandar pada pohon mahogani yang statusnya sudah nyaris membotak---memperlihatkan sisa-sisa bukti betapa musim perontok pernah ambil bagian disana. Menyamarkan bentuk kaki hingga serupa segitiga sembarang. Lututnya terangkat, satu.


“..the ends justifies the---means?” Lisannya berujar tanpa intonasi.


Kepalanya yang tertutup surai gelap termangu kosong sejenak. Sirkuit otaknya berputar, mengobrak-abrik file yang tersimpan dalam bank memorinya, dan menyodorkan sebuah-dua buah file dari masa lalu. Tentang sebuah masa dimana seorang bocah dengan usia yang baru mencapai numera okta tengah bercengkrama dengan seorang pria tua yang rambutnya sudah memutih sebagian dan punya garis rahang tegas. Juga saat dimana seorang putra tengah bertikai kecil dengan sang Ayah perkara hal sepele.


Kalimat yang sama, persis.


Diucapkan oleh Rudolf, juga Marcus.


Pantaslah mereka berdua sama-sama keji. Sama-sama mengaku sebagai pengganti Dewa Kematian---yang berbeda hanyalah jalan yang dipilihnya. Satu memilih jalan kanan, satunya lagi memilih jalur yang sebelah kiri. Yang satu melakukannya dengan memanfaatkan kemampuan istimewa bernama sihir, yang lantas menjadikannya seorang buron bertahun-tahun lamanya dan berstatus tawanan Azkaban terhitung sejak dua tahun lalu. Dan satu lainnya lebih cerdik, memilih untuk menggunakan cara taktis a la muggle, menopengkan aksi dibalik nama besar organisasi mafia yang diketuainya agar tak mudah terendus media, juga kementrian sihir. Tujuannya sama; `Demi Kebaikan Yang Lebih Besar.`


Satu helaan nafas singkat. Telunjuk dan jari tengah berduet untuk menyentuh bagian kanan dahi. Matanya mengapresiasi bangunan gigantis tempat Hagrid bersemayam sekilas, kemudian menarik fokusnya kembali pada lembaran kitab tua yang dijuluki sebagai `petunjuk untuk para diktator` di tangannya. Kembali menekuninya, mengingat bahwa esok adalah batas pengembalian buku yang dipinjamnya dari perpustakaan lantai empat. Well.. sebenarnya ia sudah pernah membacanya (dia punya buka serupa di perpustakaan kastilnya, tentu), tapi masih banyak poin-poin yang ia tak begitu indahkan---seperti kalimat yang tadi.


Juga yang ini;
`There is nothing important than appearing to be realigious.`


Ia tertawa, sengau.



Adalah suatu hal yang perlu di ukir dalam benak, bahwa untuk sesuatu seperti ‘selera humor’ Deryck Rudolf memang berada agak di luar daftar.



Sebelah tangannya terangkat demi membenarkan posisi tudung hoodie yang warnanya nyaris menyatu dengan butiran salju yang mulai menggunung. Di senja hari dimana matahari yang tinggal separo timbul menyebarkan sinarnya, Slytherin muda itu memilih untuk membunuh waktu dan menunggu gelap datang dengan melakukan kegiatan layaknya para kaum bibliomani. Agak terlihat sedikit.. `freak`, ya. Orang macam apa yang bisa-bisanya memilih opsi untuk bercinta dengan buku di tempat yang jauh dari kata hangat---di alam bebas dengan butiran-butiran salju yang menempati sekitar teritori? Bahkan seorang bibliomani paling autis pun tak akan sebegitunya. Ck.



`It is much safer to be feared than loved because…love is preserved by the link of obligation which, owing to the baseness of men, is broken at every opportunity for their advantage;… …`


Telinganya menangkap bebunyian jamak dari dahan pohon maple yang berdiri persis disebelah pohon tempatnya bernaung, bersamaan dengan bunyi daun-daun terinjak berkemeresekan, dan derap langkah kaki yang mendekat. Anak lelaki itu memilih untuk bergeming dan tidak menoleh, hanya sepasang burgundy-nya yang bergerak liar. Melirik lewat sudut mata, meng-capture potret sebuah topi bundar besar dengan pita merah sebagai pemanis yang sedang tertambat di ranting yang letaknya kebetulan agak tinggi, untuk kemudian kembali menjatuhkan fokusnya pada halaman I’ll Principe.



Tak peduli.



`… but fear preserves you by a dread of punishment which never fails.`
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar