Pages

D.R.B

20.2.11

Tret '13' with Myrrent Mosag

Udara dingin menembus hoodie yang Deryck kenakan, menusuk kulit hingga menyentil sampai perkusi tulang. Desauan angin Siberia memainkan sedikit helaian rambut gelap yang gagal terlindungi tudung hoodie. Dihirupnya rakus udara disana, menghembuskannya lamat-lamat. Dibawah penerangan samar rembulan muda, Slytherin muda itu memilih untuk berada di ujung pelataran menara, berdiri diam sembari menunggu menit-menit menuju perdentangan jam yang konon teriset untuk berisik setiap kedua jarum jam bertumpuk di angka lusin.

Berbagai pikiran sedang berkecamuk ganas di benaknya kini. Genggaman tangannya mengerat, seolah hal itu mampu meremukkan bandul kalung berukiran numerik penunjuk turunan famili disana. Bedebah—emosinya jadi menyeruak tanpa permisi begini, hanya gara-gara selenting obrolan yang tidak sengaja terlahap oleh koklea miliknya tadi, obrolan mengenai angka…

Tiga Belas
—Angka satu berdempet tiga; yang penuh kontradiksi dan menuai kontroversi tiada henti.

Sigh.

Tiga belas. Disebut-sebut sebagai 'angka sial', si pembawa kekurang-beruntungan. Segala bentuk kesialan yang didapat akan langsung mendakwa bahwa si 13 adalah dalang dibalik semua kesialan, padahal ia berbuat dosa pun tidak.

Tiga belas. Diamini sebagai 'numerik satan', pembawa aura kegelapan. Sebagaimana layaknya 'satan'; patutnya dihindari demi cari aman dan sebisa mungkin tidak membuat suatu keterikatan apapun. Lihatlah para muggle idiot di luar sana, yang secara berjamaah meniadakan si 13 pada arsitektural kota serta gedung-gedung pencakar langit, bahkan sampai kasta teremeh macam kandang pacuan kuda dan kamar mandi sekalipun.

Berlebihan.
Mengaku berintelek, tahunya tolol jungkir balik. Sekrup otaknya sudah pada melonggar barangkali, letak otaknya pun rasanya sudah hijrah ke dengkul, hingga penerapan matematika dasar pun tidak paham. Habis angka 12, meloncat indah ke angka 14. Na'ah, hitungannya bego.

Bruno pernah berkata pada Ayahnya di suatu pagi; cobalah sesekali sempatkan diri untuk bertandang ke salah satu hotel berbintang di London untuk menikmati jamuan malam. Bawa rekan sejawat hingga semua bertotal tigabelas—maka akan ada penampakan dua kucing sewarna arang yang turut menjadi peneman, semata hanya biar jumlah penikmat jamuan makan tak tigabelas. ‘It's believed that one the 13 diners will die within a year’ begitulah sabda sang manajer hotel pabila keberadaan sang kucing dipertanyakan.

Contoh dekadensi otak yang tak kenal kata tanggung.

My my.. jemaat triskaideka-phobia adalah mayoritas rupanya. Terlihat dari tingginya jumlah massa yang kejeniusannya mengalahkan seekor keledai buduk; yang menaruh rasa takut berlebihan terhadap angka yang pabila digabung akan menjadi aksara ke-dua dalam alfabet.

Kinda.. pathetic.

Deryck Rudolf adalah seorang rasional, yang beranggapan bahwa kepercayaan orang-orang setengah sinting terhadap angka 13 itu seharusnya mati sejalan saja dengan arus modernisasi. Namun fakta berujar jikalau mitos tahyul macam itu ternyata tetap mengeksis tanpa cela, tak berhasil ditempa sang waktu—berkembang dengan begitu biadapnya malah. Ckckck.

Dihelanya nafas singkat, sementara burgundy-nya beralih pandang pada hamparan langit di atasnya. Tersadar akan penampakan horizon yang terasa ganjil kala ini. Suasananya jauh lebih benderang. Pendar bintang tiada henti memantulkan cahaya dalam citraan angkasa. Sinar rembulan menerobos awan-awan tipis, membias masuk ke dalam menara yang kini menjadi koordinatnya. Bulan separo saat ini.

Malam ini indah, seandainya ia tak sedang mati rasa.

Ekspresi wajahnya yang stagnan seakan menunjukkan kalau dia punya ekspresi pun tidak. Raganya pun mematung layaknya pose Gargoyle yang menghuni koridor si janggut panjang. Belakangan jiwanya seringkali kosong, benaknya rajin berkelana entah kemana. Usianya belum genap duabelas, tapi gayanya seakan sudah berusia kepala tiga; tipikal pemikir yang biasanya berjidat boros dan berambut tipis-licin-klimis.

Diliriknya malas jarum jam arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang tak henti bertik-tak sedari tadi. Ah, sudah lewat tengah malam, tak kerasa—dan ia belum didera kantuk juga. Insomnia lagi, eh? Mungkin. POST 2


Bukanlah seorang nerdus, tapi ia tahu perkara sebab-musabab timbulnya mitos bedugul seputar angka tigabelas. Konon asalnya adalah pada sebuah pengetahuan kuno that-called-itrumornya—dibawa oleh kaumnya, kaum penyihir.

Dalam stereotipnya sendiri, tigabelas hanyalah sebuah anggota bilangan bulat positif. Urutan ketujuh bila diusut dari bilangan prima terkecil. Bilangan ganjil. Just it, and no offense.

Stereotip yang kini terasa membasi.

Tahu kenapa?

Dulu, dia memang tak pernah ambil peduli barang sebiji-semut-terinjak pun mengenai julukan yang melekati sang tigabelas—tapi rasanya kini tidak demikian lagi adanya. Tak dipungkiri oleh bibit pendosa satu itu kendati batinnya yang tengah terombang-ambing dan terseret-seret dalam kegoyahan imani. Yang awal mulanya teguh mempertahankan kerasionalannya kini mulai berbalik memihak sisi irasionalnya. Anggaplah telah dibebaskan satu racun untuk menyelinap masuk ke dalam otak, membuat otaknya untuk mulai mentali-merahkan mitos-mitos tahyul tersebut dengan segala peristiwa demi peristiwa kelam yang menyangkut dirinya—dirinya;`si keturunan Bradley ketigabelas`.

Kelahirannya sepertinya dikutuk, meski hidupnya penuh berkat.

Si sinting Cardiff pernah menyebut-nyebutnya sebagai anak yang dikutuk, magnet dari semua malapetaka yang terjadi pasca kelahirannya—kehadirannya tidak diinginkan, katanya. Tell himsalahnya-kah, kalau ia membuat Marcus dan Ashley tidak mempunyai putra tunggal? Salahnya-kah, kalau Ibunya mati menggenaskan di saat usianya baru menginjak usia tigabelas bulan? Dan bertubi kejadian lainnya, tell him.. Apakah itu semua semata kesalahannya?

“………”—tak ada jawaban.

(cough)

Seiring dengan jengit yang ditimbulkan sang peri angin pada raga, sirkuit otaknya menghadirkan sebuah puing-puing ingatan dimana sebuah nama asing disebut-sebut Cardiff sebagai oknum yang mencetus ramalan akan dirinya. Si juru kunci, yang tak pernah pemuda itu tahu barang batang hidungnya. Sudah matikah? Semoga hidup, ia ingin tahu ramalan hidupnya. Apa benar—apa benar dia terikat dengan angka tigabelas?

Dan nama peramalnya…errgh.

Dia.. lupa—bodoh benar.

Mendadak ia jadi menyesalkan Cardiff yang sudah mati dimakan cacing. Satu-satunya informan-nya.

Malam terasa panjang, pengaruh musim dingin barangkali. Lolongan anjing dari kejauhan terdengar sesekali, berisik. Deryck mendengus sarkastik, sejurus kemudian memasukkan kembali kalung lux berbandul numerik satan itu ke dalam saku saat menyadari bunyi samar gesek-seret sepatu dengan pualam lantai alas menara. Sisi instingtifnya mencuat—ada yang datang. Siapa?

“Butuh teman ngobrol?"

Seorang hawa, rupanya. Ditolehkannya wajah, memutar derajat kepalanya dengan dagu yang sedikit terangkat. Mengapresiasi visualisasi gadis yang bersanding di sisinya barang sekilas. Pernah lihat sepertinya.

“..Myrrent—Mosag..?”

Tidak menjawab, hanya bergumam pelan, diikuti dengan helaan nafas dan satu tarikan alis. “Sedang apa?” Ia kira hanya dirinya seorang yang masih terjaga dan punya nyali untuk berkeliaran keluar asrama larut malam begini. 'Kabbalah'; ajaran mistis kuno yang ditelurkan sejak rezim 'Pharo, pada masa awal perkembangan masyarakat lembah sungai Nil yang subur makmur. Dan kaum Zionis diyakini sebagai mayoritas jemaat. Yea, para keturunan Eber itulah rupanya yang paling termakan faham yang—

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar