Pages

D.R.B

20.2.11

Infatuation

“Berikan ini padanya.”


“Oh, okay..”


Anak lelaki sebelas tahun, dengan mata burgundy dan rambut nyaris hitam. Mengenakan syal juga jaket, dan celana levis panjang serta sepatu keds. All black, kecuali syal sewarna salju yang melingkari lehernya. Berjalan keluar dari teritori ularnya yang bereuforia nyaris sama dengan pemakaman. Melintasi jalan remang dan minim cahaya (satu-satunya penerangan disana berupa obor—tak lebih), yang menurutnya lebih bisa disebut gorong tikus, sembari berharap bahwa gadis pirang yang menjadi kuli pengantar suratnya bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Dan surat serupa lembaran perkamen yang dilipat menjadi dua darinya bisa selamat sampai tujuan.


Dan dibaca. Dipahami. Dan datang.


Semua-muanya harus mulus sesuai rencana—atau begitulah inginnya, maunya, kehendaknya.


Setan—sifatnya merepotkan.


Langkah kakinya bergema nyaring di lorong bawah tanah, menjadi bunyi tunggal kala itu. Suasana sunyi, sepi—nyaris mati. Tak ada satupun anak yang ditemuinya disana. Diliriknya posisi jarum jam dari arloji platina yang melingkar di pergelangan tangan kiri, lalu mengangguk khidmat, seakan mahfum. Sudah masuk jam malam, saatnya para anjing penjaga berkeliaran mencari mangsa. Mereka yang berjiwa pengecut dan takut akan detensi mulai sibuk mengumpat dan menyembunyikan diri—dan Slytherin muda satu itu bersumpah, bahwa dirinya bukan termasuk golongan tersebut, kendati ia malah memilih untuk keluar dari asrama kali ini. Hey, ular pun memang seringkali kedapatan sedang bermutasi di malam hari, bukan? Heh.


Dipijakinya undakan batu pualam yang menjadi penghubung antara ruang bawah tanah dengan koridor lantai satu yang sekarang sedang lenggang. Figur seorang pria berperut buncit dalam lukisan menyambut kedatangannya disana sembari mengangkat gelas rhum, yang ditanggapinya dengan sebuah kedik pelan seraya berlalu. Diperhatikannya berkas-berkas sinar rembulan yang menelusup lewat celah-celah dan menjamahi dalam kastil, menilik dindingnya yang kokoh serta ornamen-ornamennya. Melakukan distorsi singkat sebelum akhirnya memasukkan kedua tangan ke dalam saku. Sebelah alis hitamnya naik ketika burgundy itu menangkap visual dari keberadaan sebuah tangga yang menjadi penghubung lantai demi lantai di hadapannya, disertai dengus.


Well, mari kita lihat apakah Deryck Rudolf bisa sampai di destinasi tanpa harus mengalami apa itu yang dinamakan ‘kesasar’.


Nyasar. Salah jalan. Hilang arah. Whatever you named.


Ini, adalah hal yang mati-matian ia rahasiakan dari entitas selain dirinya—juga lukisan-lukisan kardinal yang menghuni di setiap dinding kastil. Tak boleh sampai ada seorang pun yang tahu, bahwa Deryck.. seringkali nyasar setiap kali harus berhadapan dengan tangga bergerak yang—baginya terasa—laknat itu. Bahwa ia masih belum hapal sepenuhnya jalan—lebih tepatnya; kemana-arah-tangga-itu-bergerak—menuju lantai satu, dua, tiga.. hingga tujuh. Dan perihal dirinya yang sepertinya membutuhkan…peta, mungkin.


Tch…


Disetopnya laju kakinya yang terbilang jenjang itu saat mendapati dirinya yang sudah menjejak di lantai keempat dari kastil yang konon besarnya dua kali lipat dari Durmstrang. Hanya tinggal berjalan lurus, melewati satu belokan—dan sampai di destiny; Kelas Kosong. Satu tangannya yang sedari tadi bersemayam di saku melayang rendah demi mengacak surai gelapnya. Garis datar yang semula dipetakan pada wajah berubah menjadi timpang.


Timbul seringai.


Hanya sekali dia kesasar, di undakan tangga lantai tiga—phew. Ini rekor. Ha!


Sudut burgundy miliknya lalu menelisik sekitar, mengendus-endus ada-tidaknya kehadiran murid berlencana nyentrik disana. Diputarnya knop begitu suasana dirasa aman. Pintu kayu yang semula tertutup menjeblak dengan biadabnya, dan Bradley muda itu membawa raganya masuk ke dalam. Kosong—sesuai harapan. Dihempaskannya tubuh ke atas salah satu sofa berwarna darah yang cukup empuk disana, menjadikan sofa tersebut sebagai teritori-nya malam ini. Italia satu itu kemudian menumpuk kaki kanannya diatas lutut kiri sembari menaruh tas gitar yang sedari awal tersampir di punggungnya—melepasi resletingnya, lalu mengeluarkan selongsong gitar miliknya dari sana. Konon, benda itu dibuat dari kayu terbaik, serta senar yang langka. Dipesan khusus dari salah satu pabrik penghasil gitar Nomor Satu di Italy. Harga mencekik, kualitas necis. Dan ada ukiran namanya di bagian sisi; ‘Deryck Rudolf Bradley’.


Diletakkannya benda yang sengaja ia bawa dari kastilnya di Skotland dalam pangkuan. Jemari kiri menekan empat titik, sementara yang kanan mulai memetik senar dengan pick pada kunci Cadd9. Lalu G. Kemudian D—dan seterusnya. Menghasilkan intro dari sebuah lagu.


Masih menunggu kedatangan dia—yang dinanti.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar