Selagi benaknya nyaris tenggelam pada deretan aksara dalam sebuah buku tebal, lidah api di tungku perapian berderak dengan liarnya, tergoyahkan desau angin yang entah darimana berhembusnya. Radiasi telinganya menangkap suasana ruang rekreasi yang nyaris sunyi. Tak begitu mengherankan memang, mengingat koordinatnya kini bukanlah selapak dengan para titisan Godric sana—hanya saja agak sedikit.. tidak biasa. Pedulikah ia? N'ope, senyatanya suasana yang nyaris mati begini lah yang paling ia gemari.
“Bradley—“
Namanya disebut, memaksa pemuda separo Italia tersebut mengangkat kepala dari bacaannya sejenak. Ah, Myrrent Mosag rupanya. Si gadis platina yang pernah menjadi penemannya di suatu amalam tempo hari lalu—yang rumornya berelasi baik dengan seonggok singa ompong berotak kosong.
“Yes, Myrrent?” sahutnya kasual seraya menutup bukunya dengan satu sentakan pelan. Direnggutnya dua buku di sisinya yang agak berantakan, menatanya menjadi tumpukkan kecil. Memindahkannya ke bawah sofa. Nampak nerd memang dengan pose trademark kaum bibliomani begini, tapi apakah ini sebuah kesalahan, hm? Klasik. Tak hanya para gagak yang diijinkan untuk berkawan dengan buku, ular pun berhak. Dan Deryck Rudolf tak pernah merasa berkaum dengan mereka yang hanya mampu ber-bisa namun tidak berotak—yang hanya bisa bicara tapi cacat dalam berpikir.
Dan—pesta, katanya?
Tidak berminat sebenarnya, tapi rasanya tidak sopan menolak tawaran seorang gadis untuk menghadiri pesta entah-pesta-apa yang kini tengah di gelar di Aula.
“Well, tidak buruk sepertinya.”
“Bradley—“
Namanya disebut, memaksa pemuda separo Italia tersebut mengangkat kepala dari bacaannya sejenak. Ah, Myrrent Mosag rupanya. Si gadis platina yang pernah menjadi penemannya di suatu amalam tempo hari lalu—yang rumornya berelasi baik dengan seonggok singa ompong berotak kosong.
“Yes, Myrrent?” sahutnya kasual seraya menutup bukunya dengan satu sentakan pelan. Direnggutnya dua buku di sisinya yang agak berantakan, menatanya menjadi tumpukkan kecil. Memindahkannya ke bawah sofa. Nampak nerd memang dengan pose trademark kaum bibliomani begini, tapi apakah ini sebuah kesalahan, hm? Klasik. Tak hanya para gagak yang diijinkan untuk berkawan dengan buku, ular pun berhak. Dan Deryck Rudolf tak pernah merasa berkaum dengan mereka yang hanya mampu ber-bisa namun tidak berotak—yang hanya bisa bicara tapi cacat dalam berpikir.
Dan—pesta, katanya?
Tidak berminat sebenarnya, tapi rasanya tidak sopan menolak tawaran seorang gadis untuk menghadiri pesta entah-pesta-apa yang kini tengah di gelar di Aula.
“Well, tidak buruk sepertinya.”
Slytherin's
Ribuan kelelawar yang mengudara bebas, hiasan Jack O' Lantern, lalu aroma labu panggang..
Dua kata; 'Halloween Party'.
Almanak sudah merujuk penghujung bulan kedelapan rupanya. And the `All Hallows' Even` is coming to Hogwarts. Tak disangka kendati sekolahnya pun ternyata ikut merayakan `Noche de Las Brujas` layaknya sejumlah puak Eropa Tengah di masa lampau yang bertutur kata dengan subrumpun bahasa Keltik. Sebuah perayaan yang tak pernah punya daya pikat di mata si pemuda.
Ah, “Happy Halloween too, Myrrent.” gumamnya tenang seraya mengangkat piala (lagi-lagi) jus labu. Tatapannya menghangat, meski masih saja ia lalai tersenyum.
Deryck tidak merayakan tradisi yang dimuasalkan dari festival bangsa Galia Kuno (they-name-it; ‘Samhain’) seperti penghuni Hogwarts kebanyakan. Sejatinya Halloween adalah sebuah perayaan besar yang diperuntukkan untuk para moyang Keltz di alam baka yang telah lama mati, untuk nantinya diundang makan bersama. Dan ia bukanlah seorang Keltz, juga bukan termasuk dalam golongan bocah yang dengan riangnya akan sibuk berkeliling door-to-door demi mengemis dan minta diderma gula-gula ('Trick or Treat!' begitulah biasanya bunyi kicauannya, i-di-ot)—maka itu ucapan `Happy Halloween` dari Myrrent jadi terasa tak bermakna.
Kepalanya mendongak sedikit, sementara satu alisnya naik dalam interval berlebih. Agak merasa sedikit janggal bercampur ngeri kala menyadari posisi Jack O' Lantern yang begitu extreme—menggantung rendah dalam bentang jarak yang terbilang dekat dari kepalanya. Sekedar berharap jikalau tidak ada maksud terselubung dibalik penempatannya yang agak sedikit tidak wajar. Yea, barangkali Albus berniat jahil dengan labu-labu disana. Mengingat kepala sekolahnya yang terbilang nyentrik, hal nista macam begitu bukanlah bernilai tabu. Lagipula, ada sebuah jargon yang berpendapat bahwa semakin tua usia seseorang, maka semakin kekanakkanlah dirinya. Dan Albus adalah seorang tua.
Burgundy khas-nya bergerak liar menelusuri anak per-anak di bawah naungan panji Slytherin, nyaris tanpa minat. Disesapnya jus labu dalam pialanya, meneguknya tanpa suara. Masih saja bergeming tanpa arti, bahkan ketika seorang senior berambut merah muda tengah sibuk membagi-bagikan bunga. Hanya saja kurva gandanya kembali bermain saat gadis di sampingnya menanyakan perihal kepemilikan sebuah pesawat kertas yang mendarat diantara dirinya dan Myrrent. Datangnya dari Gryffindor, sarang mudblood dan darah pengkhianat—jelas bukan levelnya. Dan ia merasa tidak pernah punya urusan dengan satupun baboon disana.
"Not mine." ia mengedikkan kepala pelan ke arah meja perlambang singa disana, matanya menyipit, memandang hina sang oknum—yang ia duga adalah—pengirim benda yang dipertanyakan Myrrent tadi. Walvhere—or whatever his name, he doesn't really care. "It's yours."
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar