Pages

D.R.B

11.12.10

Seleksi Asrama; Aula Besar

Rasis.

Seperti jaman Jerman Nazi yang mengagung-agungkan ras Aria Nordica, menandaskan bahwa kemurnian rasnya mesti dipertahankan agar pada suatu hari kelak dapat mengambil alih dunia. Menganggap ras lain sebagai kelas dua—sub human yang harus dilenyapkan karena dikhawatirkan akan menjadi suatu ras beracun yang hidup dari ras lainnya dan melemahkan mereka. Atau seperti pada saat peradaban India Kuno, dimana perkara hal menikah dengan yang di luar kastanya adalah sangat dihindari dan bernilai terlarang.

Rasisme; konon adalah frasa yang berkonotasi buruk, sifatnya kontroversial—bahkan dianggap ilegal. Tapi yea, siapa yang perduli sih, memangnya? Lihat saja bagaimana sistem perbudakan yang katanya sudah resmi dihapuskan sejak jaman Revolusi Prancis dan dipatenkan ketiadaannya dalam sebuah Declaration of Human Right—yang ternyata tak menyisakan pengaruh sama sekali, mengingat kenyataan bahwa sampai dewasa ini sistem perbudakan masih memamah biak dengan kecacatan dalam pengontrolannya.

Sama saja halnya seperti tidak diperijinkan adanya suatu yang bersifat rasis; sama-sama sebuah faham yang hakekatnya hanyalah untuk diludahi adanya, hanya akan dianggap setara dengan angin lalu—bukan begitu?

Jadi, biarkan saja dia, Deryck Rudolf Bradley, tetap 'begini' apa adanya. Biarkan dia untuk menatap rendah para sosok-sosok dalam rombongan kecilnya yang diperkirakan (pada awal kesan pertama) berasal dari strata yang berbeda. Bukan salah bunda mengandung, sikap rasis yang seperti ini nyatanya sudah mendarah daging, sudah menjadi bawaan orok—sebut saja begitu. Terdoktrin dari keluarganya yang.. ya, begitulah, yang secara otomatis turut andil dalam penciptaan dirinya menjadi sosok pribadi seperti ini. Keluarganya, adalah salah satu dari sedikit klan berdarah murni yang tersisa, yang berkiblat pada penyihir hitam (ingat bahwa seluruh keturunan Bradley adalah lulusan Durmstrang? Pengecualian untuk si generasi ketigabelas) dan turut menyerukan pembersihan mudblood beserta para darah pengkhianat dari muka bumi—untuk sekedar info, kalau kau mau tahu.

Dalam usianya yang akan menginjak lusin di penghujung bulan natal nanti, ia sudah merasa cukup kenyang dalam memerani sosok anak yang patuh, selalu berada dalam jejak kaki sang Ayah. Dibawa belok ke kanan, ke kiri, ke barat, ke timur—kemanapun, ia tak akan protes. Pikirannya pun sudah terkontaminasi dan diracun oleh banyak hal. Wajarlah pabila pemuda separo Italia-Skotlandia itu turut mengamini sebuah dalil tak tertulis semacam kalau semua keturunan darah murni itu tidak diperbolehkan untuk bergaul dengan para sub-human, dengan status darah lain yang dianggap lebih rendah derajatnya. Tak perduli seberapa kaya rayanya seorang darah campuran ataupun si darah lumpur, karena darah yang sudah kotor tidak mungkin menjadi bersih kembali, bukan? Seperti halnya berusaha memegang matahari, hal yang bersifat mustahil adanya. Sebuah dalil yang begitu mudahnya dicerna otak dan diterapkannya dengan sebijak-bijaknya.

Atensi berhasil tersita saat rumah siputnya dijamahi senandung lagu bermelodikan nada-nada sumbang dengan lirik tak berbobot yang bergema di seluruh penjuru Aula, membuat dahi sang Bradley muda mengernyit kritis. Dua orb burgundy pelihatnya serasa dipaksa untuk menemukan si sumber suara yang membuat telinganya berdengung. Mengangkat sebelah alis hitamnya tinggi-tinggi saat matanya bersirobok pandang dengan sebuah topi kerucut kumal di pelataran Aula. Topi buluk itu—yang sedang bernyanyi, eh? Sebuah absurditas lainnya—setelah penampakan manusia setengah troll yang tadi menggiring rombongannya. My my.. pantas saja suara itu terlalu jelek untuk ditangkap oleh telinganya, tch. Dan ijinkanlah Deryck Rudolf ini untuk menulikan telinganya sejenak, setidaknya sampai mulut tidak prorporsional si topi buluk membungkam.

Tick-tock, tick-tock...

Yang terjadi setelahnya adalah menit-menit yang berlalu dengan kemonotonan ritme. Waktu digulir tanpa spasi jeda, baik koma maupun titik. Satu persatu nama digemakan dari pita suara milik seorang wanita berahang tegas dengan keriput di wajah—pertanda sosok itu sudah tua renta, dilafalkan secara alfabetis dari ke duapuluhenam aksara. Diikuti pergerakan anak per-anak secara ritmik dari dalam barisan yang merengsek maju ke podium. Lalu dipersilahkan duduk diatas sebuah kursi kayu polos sepi pelitur berkaki ganjil dan diperkenankan untuk mencoba memakai onggokan topi lusuh yang mengaku sebagai penyeleksi. Slide selanjutnya adalah si anak-yang-namanya-dipanggil-tadi duduk anteng di kursi seraya menanti si topi seleksi menggemuruhkan sebuah nama diantara Gryffindor; Slytherin; Ravenclaw; dan Hufflepuff—yang alhasil mengundang beragam reaksi dari para penghuni dari empat meja panjang disana. Begitu seterusnya, berulang-ulang, hingga membuat pemuda itu bosan.

"Bradley, Deryck Rudolf."

Namanya disebut, akhirnya. Keturunan Bradley ketigabelas itu lantas melangkah dengan cara paling wajar yang pernah ia terapkan; menerobos barisan tanpa permisi. Stagnansi-nya mengesankan. Berjalan menuju altar tanpa sedikit pun meluputkan manner berselubung keangkuhan khasnya. Melakukan hal yang seperti anak sebelumnya lakukan; duduk manis dan berpasrah diri saat kepalanya dipakaikan onggokkan benda sampah tanpa banyak bicara. Lagaknya nampak ogah-ogahan dan (tetap) minus senyum.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Kompartemen B; Hogwarts Express

Pemuda kelahiran Glasgow itu memilih menyandarkan raganya sejenak di ujung gerbong seraya menatap kosong suasana peron yang sudah tersterilkan dari murid Hogwarts. Menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan membiarkan kopernya tergeletak asal di sampingnya seakan benda itu sama sekali tidak penting. Kedua mata burgundy-nya melebar sepersekian detik saat menyadari kehadiran figur pria berbadan tegap yang kini berdiri bersanding dengan Sherlock. Ayahnya, (yang entah dari mana datangnya, aparrate mungkin) yang kini tengah tersenyum asimetris, padanya.

- - -
“Do not disapointed me, son.”
“Yes, father.”
- - -

Sebuah anggukan dingin diberikan pemuda itu kemudian, positif. Pertanda bahwa ia mengerti akan maksud di balik senyuman Marcus yang langka itu. Matanya tak berkedip saat menatap siluet Marcus dan Sherlock yang kini semakin mengecil. Detik berikutnya menghilang sempurna saat rel mulai berkelok. "Farewell, Durmstrang." bisik pemuda itu pelan, membiarkan frasanya dilarikan sang angin, entah dibawa kemana.

Benaknya kini melayang pada Durmstrang, Hogwarts, Marcus—dan juga seputar misi yang diberikan sang Ayah padanya. Apa keputusannya ini sudah benar? Ia mencelos, tak menemukan jawaban dari pertanyaan yang belakangan ini menghantui pikirannya, membuat beberapa malam ini tidurnya jauh dari kata lelap. Mungkin memang ia harus menerima bahwa terkadang realita tak sejalan dengan harapan. Ada kalanya kita mengelabui garis takdir, melencenginya semata demi nafsu duniawi yang tak pernah kekal. Dan ada pula saatnya prinsip 'The right man in the right place' diludahi kesakralannya—kata Marcus, sesekali mengambil daerah orang lain itu baik.

Deryck menghela nafas berat, memijit keningnya yang kini terasa membatu. Pemandangan di luar jendela yang sudah berganti dengan pohon-pohon yang berkelebat cepat menyadarkan pemuda itu kemudian. Ia tidak mungkin tetap berada disana selama perjalanan. Selain karena faktor bahwa nanti kakinya bisa pegal, juga karena Hogwarts Express bukanlah layaknya kereta ekonomi muggle yang membiarkan penumpangnya untuk berdiri selama perjalanan. Telah disediakan ruang untuk disinggahi setiap murid Hogwarts, dan mubazir hukumnya kalau diabaikan.

And here he goes, walking on corridor, seeking for empty compartment. Sesekali pemuda satu itu berjalan miring untuk menghindari terjadinya kontak fisik dengan beberapa anak lainnya yang ia temui di sepanjang koridor. Matanya yang berwarna burgundy menebar fokus ke kompartemen-kompartemen dengan pintu setengah terbuka yang dilaluinya. Penuh, penuh—dan penuh, lagi.

Sigh.

Menemukan kompartemen yang sempurna nampaknya butuh tenaga ekstra, eh? Tche.

Langkah sepatu kedsnya yang sedari tadi berdentum ritmik di lantai koridor mendadak terhenti saat melewati kompartemen B. Baru terisi dua, nice. Kaki-kaki jenjang itu melangkah masuk, lagaknya acuh. Ia tak perlu meminta ijin terlebih dahulu 'kan? Tho kompartemen ini milik bersama, meski sebenarnya ia enggan untuk berbagi—dalam konteks ini, berbagi tempat—dengan orang lain, terlebih dengan seorang asing. Dia lebih suka menjadi penguasa tunggal, asal kau tahu. Deryck mengerling sekilas pada dua anak adam yang sudah berada lebih dulu disana dengan tatapan datar khasnya, satu alisnya kedapatan naik sekian mili diatas alis lainnya saat melihat keberadaan tangan salah satu anak lelaki disana yang tidak wajar. "Kalian—sedang apa, hm?" ujarnya dengan penekanan pada dua kata terakhir. Mencurigakan. Jangan bilang..

...jeruk makan jeruk.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Peron 9 3/4; Stasiun King's Cross

Sebuah Ferrari merah menyala berjalan dengan kecepatan tinggi melintasi jalanan kota London yang terbilang ramai. Lagi dan lagi mereka—ia dan Sherlock—terpaksa harus menggunakan kendaraan muggle sebagai alat transportasinya. Tidak ada yang salah memang, hanya saja berkendaraan dengan transportasi ala muggle—bahkan yang sekaliber Ferrari milik Sherlock pun—akan terasa menyusahkan. Seperti saat ini; saat entah untuk yang ke berapa kalinya (sebentar-bentar) mereka harus menghentikan laju mobilnya di persimpangan jalan untuk berhadapan dengan tiga warna sialan; merah-kuning-hijau di langit yang biru.

Deryck mendelik tajam pada warna lampu jalan yang kini berganti tepat saat mobil mereka berada di barisan paling depan perempatan, mengumpati penyebrangnya tanpa suara. "Haruskah kita menunggu lampu hijau hadir, eh?" tanyanya skeptis, mulai mendongkol karena mengorbankan waktunya yang berharga untuk menunggui para muggle melintasi trotoar dan memastikan mereka tiba dengan selamat ke sisi jalan. "Jalan saja, Sherlock." Nadanya memerintah sekarang.

(..Red..)

"As you wish, brother."

Dan satu tarikan pada pedal gas serta klakson dibunyikan Sherlock kemudian. Yang secara ekplisit menyingkirkan para muggle beserta kendaraan lainnya yang berpotensi menghambat laju pergerakan roda sang ferrari dari jalan. Memperduli-setani polisi muggle yang kini mengejar di belakang, memacu Ferrari-nya dengan kecepatan penuh.


"Kau duluan saja Sherlock, biar aku nanti mengikutimu." ujar Deryck datar dengan alis yang sedikit naik. Memamerkan seringainya saat Sherlock menunjuk dirinya sendiri. Ia tahu betul kalau Sherlock pun belum pernah mencoba melewati dinding kokoh di hadapannya itu, sama sepertinya. Dan tidak ada salahnya untuk menjadikan kakak lelakinya itu sebagai tumbal. Yea..siapa tahu kalau ternyata dinding itu tak dapat ditembus? Heh.

"Are you worried, eh? Kau takut tidak bisa melewatinya? Ah, kau ini.. seperti muggle saja." Seringai berganti posisi. Kini seringai itu milik Sherlock. Sebuah smash, untuk Deryck.

Dipandanginya punggung tegap Sherlock yang tengah berjalan santai menuju dinding tebal di hadapannya. Sempat menengokkan wajahnya ke arah Deryck sebelum akhirnya—voila!—menghilang dibaliknya, membuat kedua mata Deryck melebar selama sepersekian detik. Dan tak butuh waktu lama untuk mendapati si pemuda yang kini mencoba mengikuti jejak sang kakak untuk menerobos dinding yang berada di antara peron sembilan dan sepuluh. Romannya sedikit mengejut tatkala mendapati dirinya yang kini sudah berada di dimensi lain; Peron 9 ¾ adalah koordinat posisinya kini.

"Kupikir kau tidak berani melewatinya tadi," celetuk Sherlock saat mendapati adik semata wayangnya yang sudah memunculkan diri dari balik dinding.

Deryck memutar bola mata burgundy-nya dan menyahut malas, "I'm here now, Sherlock. See?", lalu menebar fokusnya ke sekeliling peron yang masih terbilang sepi. Pandangannya berhenti mengobservasi saat meng-capture sosok gadis yang kini sedang duduk di salah satu kursi disana. Wajah yang tentunya cukup familiar di mata si pemuda separo Italia. Salah satu putri keluarga Greengrass, salah satu klan berdarah murni yang tersisa lainnya, relasi—itupun kalau dia tidak salah. Kaki-kaki semi jenjangnya melangkah demi membunuh jarak, tak mengindahkan Sherlock yang masih tergugu ditempatnya dan kini tengah memandanginya dengan penuh tanya. Ah, rasanya ia tak perlu khawatir kalau kakak lelakinya itu akan hilang sepeninggalannya, bukan? Lagipula tempat yang ditujunya masih berada dalam jangkauan pandang Sherlock.

"Lady Greengrass, rite?" Ia bertanya dengan nada sopan yang teriset otomatis, menunggu pembenaran (karena setahunya warna rambut seorang Daphne Greengrass tidak senada dengan milik Malfoy). Diliriknya tenang keberadaan tiga anonim yang berada di sekitar gadis itu dengan tatapan datar—tidak kenal, tidak terkenal dan bukan urusannya—lalu kembali menatap si gadis berambut platina.

"Bradley, Deryck Bradley."—do you remember?

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Shine A Light

#Tret Started; Serra Bouisseau

Potter-sentris.

Itu yang dapat pemuda itu simpulkan dari hasil pengamatannya sepanjang hari ini. Baik di Leaky Cauldron maupun Diagon Alley, semua orang digemparkan oleh kehadiran si ‘bocah-yang-bertahan-hidup’ di tengah-tengah mereka. Tak berhenti untuk mengagung-agungkan si anak yatim piatu yang santer diberitakan sudah mengalahkan seorang You-Kow-Who di usianya yang baru menginjak setahun. Menyambut kedatangan seorang Potter dengan gegap gempita. Bahkan rasanya para Potter-mania itu tidak kalah fanatiknya dengan para penggila Dustin Bieber (?); sama-sama freak. Sikap dan ekspresi yang begitu kontras dengan yang segelintir kecil lainnya tunjukkan; yang beranggapan bahwa kekalahan sang Pangeran Kegelapan meninggalkan sebuah duka yang mendalam.

Keluarga Bradley salah satunya, keluarganya.

Pemuda berusia sebelas tahun itu berdiri dengan tenang, masih menyenderkan tubuhnya pada dinding batu di belakangnya, menggulung lengan kemejanya asal hingga siku dan melipat kedua tangannya di dada. Deryck menatap datar ke arah jalanan Diagon Alley yang masih padat merayap. Dari seluruh bagian tubuhnya, hanya bola mata sewarna burgundy-nya yang bergerak liar. Meneliti detail setiap figur yang berlalu-lalang di hadapannya dengan tatapan tajam layaknya elang yang sedang mencari mangsa. Berharap semesta sedang berbaik hati untuk mempertemukannya dengan sosok bocah lelaki seumurannya yang berambut cokelat dengan sebuah kacamata tebal bertengger di atas hidungnya dan sebuah tanda petir di keningnya—yang sangat mendunia—(itu segelintir informasi yang didapatnya saat duduk di bar tadi, mate) saat ini, disana.

Harry Potter—siapa lagi?

“Ogden Nash, kah?”

Adalah sebuah kalimat yang membuat pemuda itu kembali tertarik dari lamunan sesaatnya, menyeret pikirannya untuk kembali ke dalam realita dunia. Sepasang mata burgundy yang menjadi khas genetik para Bradley itu bergulir acuh pada seorang gadis yang baru saja bergabung disana. Mendengus malas saat si gadis melanjutkan ucapannya seraya mengalihkan pandangannya kembali ke jalanan yang semakin ramai—tidak menyadari perihal gerak-gerik si gadis yang nampak sedikit gugup, entah kenapa.

Ah, ucapannya yang tadi.. jangan dipedulikan—karena jelas masuk dalam genre meracau. Dan tadi itu, hanya sebuah kalimat yang pernah dikatakan Rudolf, grand pere, padanya sewaktu ia kecil dulu; saat pemuda itu sedang kedapatan mengkonsumsi gula-gula. Apa artinya, ia angkat bahu. Dan ia pun baru tahu kalau kata-kata itu ternyata adalah milik Ogden Nash (seperti kata gadis itu tadi)—entah siapa Ogden Nash, tidak kenal. Sekali lagi, no offense. Harusnya abaikan saja, anggap tidak pernah terucap dari mulutnya.

"He? Li-li apa?"

Deryck kembali melirik si gadis bersurai cokelat yang tadi paling pertama ditemuinya disana, menatap gadis itu dengan alis yang sedikit naik dan memilih untuk tidak menjawab serta menganggap ucapan si gadis tidak pernah ada. Dan, satu entitas lain datang, ikut bergabung dalam kumpulan kecil dimana si pemuda Bradley berada. Tak ambil peduli (karena nyatanya gadis itu tidak sedang berbicara dengannya) pemuda satu itu kembali berdiri mematung di tempatnya. Tidak mau melibatkan diri dengan ketiga gadis disana yang sedang bercakap seputar permen. Tidak penting, tahu. Ada banyak hal yang lebih penting untuk dilakukan daripada membahas seputar makanan perusak gigi itu.

Dahi pemuda separo Italia itu tampak mengernyit kritis saat si gadis pembawa permen menanyakan hal seputar dimana letak Leki-atau-Liki (?). Memetakan ekspresi geli separo menghina sebelum akhirnya membuka mulut, “Leaky Cauldron, maksudmu? Tinggal ikuti saja jalan ini, nona.” ia menyahut sekenanya, lagaknya acuh tak acuh. Sekon berikut kembali mengfungsikan matanya untuk mengobservasi setiap orang yang berlalu lalang di hadapannya dengan pandangan datar sekaligus meneliti yang sama. Sedang mencari keberadaan sosok makhluk setengah troll yang rumornya mengantarkan si ‘bocah-yang-bertahan-hidup’ berbelanja. Yea, di dalam keramaian seperti ini mencari sosok yang lebih besar akan jauh lebih mudah daripada mencari yang kecil (yang sebentar-bentar tenggelam wujudnya).

“Hadn’t met..Harry Potter?” ia bertanya. Deryck tentu tidak ingin keberadaannya di Diagon Alley kali ini bernilai sia-sia. Kedatangannya kali ini bukan untuk berbelanja, mate—melainkan untuk mengetahui seperti apa bentuk konkrit seorang Harry Potter. Yea, barangkali dari ketiga gadis ini ada yang tahu sesuatu.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Toko Jubah Madam Malkin

My my. Lihatlah seberapa panjang antrian anak bebek angsa yang sedang memadati toko Madam Malkin's yang sempit ini. Tidak kalah panjangnya dengan antrian para kaum miskin hina saat musim pembagian sembako gratis. Panjangnya mirip kereta api, tapi pergerakkan barisannya lambat seperti siput. Tsk.

Pemuda blasteran Italia-Skotlandia itu hanya bisa pasrah mendapati kenyataan di depan matanya saat ini; bahwa hanya demi sebuah jubah Hogwarts (yang sangat biasa itu) semua orang rela dibuat mengantri panjang (pengecualian besar untuk dirinya). Tanpa sadar pemuda itu berdecak, tak pernah terbayangkan olehnya bahwa selama tujuh tahun ke depan dia akan mengenakan jubah hitam Hogwarts alih-alih jubah merah darah dan mantel bulu Durmstrang yang selama ini ia idamkan adanya (dia pasti terlihat tidak kalah 'wow' dari Sherlock dengan jubah Durmstrang). Ayolah, semua juga tahu kalau jubah Hogwarts tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan jubah kepunyaan Durmstrang. Kalah jauh malah.

Ah, sudahlah, tidak perlu dibahas.

Deryck mengernyitkan dahinya ketika melihat sebuah meteran melambai yang mengukur satu persatu para anggota barisan bebek angsa yang berada di antrian depan. Tidak bekerja dengan cekatan, meteran itu. Pantas saja tidak ada pergerakan yang berarti dari antrian panjang di hadapannya. Sebuah fakta implisit bahwa ia tidak akan mendapatkan pelayanan memuaskan di tempat kali ini, membuat pemuda satu itu mendengus penuh sinisme dan menggerutu dengan suara rendah sementara burgundy-nya melirik ke arah si pegawai magang yang menjadi kepala dari antrian bebek angsa kali ini.

Sekon berikut pancaran maniakal-lah yang tersirat di matanya, pertanda bahwa ia mendapatkan sebuah titik terang. Selak saja, tidak ada salahnya untuk berbuat curang; demikian Lucifer dalam dirinya bertitah.

"Paket tahun pertama," frasanya ditahan, mengingat kendati tadi para cecunguk disana turut mengucapkan nama lengkapnya---maka dia pun harus menyebutkan namanya juga bukan? "..atas nama Deryck Rudolf Bradley." tandasnya acuh, berlagak seolah tidak mendengar caci maki dan segala bentuk protes keras yang dilayangkan padanya dari antrian bebek angsa di belakangnya (dia yang paling depan saat ini). He doesn't really care, y'know.

Mengantri bukanlah budaya yang ia anut, hanya kegiatan sehari-hari masyarakat kalangan bawah. Dan, perlukah diberitahu, kalau tuan muda Bradley satu ini paling tidak suka dibuat menunggu? Kalau sudah tahu ya, seharusnya semua cunguk di belakangnya sadar diri untuk segera membungkam mulut sampah mereka, dan si pegawai magang di depannya tidak perlu menunggu lama untuk segera mengurusi pesanannya.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Toko Kuali dan Ramuan

"---ops, ma-maaf.."

Terlalu sibuk pada kertas lusuh di tangannya membuat pemuda sebelas tahun itu tidak begitu memperhatikan langkahnya, hingga akhirnya tidak bisa menghindari terjadinya sebuah tabrakan kecil. Deryck memutar bola matanya malas, mendongakkan wajahnya demi melihat siapa oknum yang telah ditabraknya---ah, tidak, dia lebih senang memberi kesaksian bahwa orang itu-lah yang menabraknya. Heh. Pemuda bernama tengahkan Rudolf itu memasukkan kembali kertas berisikan list kebutuhan Hogwarts-nya ke dalam saku, melarikan sepasang burgundy-nya tenang ke arah oknum yang---beruntungnya---bisa bersentuhan bahu dengan seorang putra mahkota Bradley sepertinya. Menatap seorang anak lelaki cupu dengan dengan rambut sewarna jerami di hadapannya dengan alis terangkat, congkak. Jemari tangannya menepuk-nepuk pelan bagian tubuh di sekitar bahunya, mengesankan bahwa pemuda itu sedang membersihkan diri dari kotoran-kotoran yang tidak diharapkan akibat tubuhnya bersentuhan dengan seorang asing.

"Taruh matamu dengan benar, boy." desis pemuda itu dramatis. Memperhatikan visualisasi si pemuda cupu sekilas dan menjatuhkan fokusnya akan keberadaan benda-benda berbasis ramuan yang sedang ditenteng oleh anak lelaki pendek di depannya (tubuhnya tidak mencapai seratus empat puluh senti, ia kira). Membuat pemuda itu segera teringat bahwa ia hampir saja melupakan peralatan ramuan dalam list barang yang harus dibelinya.

"Sekali lagi, m-ma-maaf, tidak sengaja." si pendek kembali berujar, berusaha membela diri---yang hanya Deryck tanggapi dengan kibasan tangan agak kasar, tampak tidak peduli. Tungkai kakinya kembali bergerak menelusuri Diagon Alley, meninggalkan si anak lelaki pendek-cupu yang masih termangu diam di tempatnya begitu saja. Ia bukan tipe yang suka memperpanjang masalah, soalnya.

Toko Kuali dan Ramuan---
---ah, sampai.
Dan kesan pertama yang ia dapat dari toko kali ini adalah; sial. tempat. ini. bau. Deryck tidak bisa merasa baik-baik saja di tempat dengan bau menohok hidung seperti ini---terlebih ia adalah seorang yang terlahir dengan indera penciuman yang tajam. Pemuda yang tiga bulan lagi genap berusia duabelas itu mengernyitkan dahinya jijik. Tangannya segera bergerak demi mengambil sapu tangan miliknya yang berwarna marun dari balik saku, mengfungsikannya sebagai penutup mulut serta hidungnya, berharap jikalau benda itu ampuh untuk meresesifkan bau yang sangat tidak eksotis itu untuk dihirupnya.

Satu alis Deryck kembali terangkat tinggi ketika melihat para manusia disana yang bisa-bisanya terlihat tenang-tenang saja berada di tempat nista dengan bau macam kandang babi begini, seolah-olah mereka tidak mempunyai hidung seperti layaknya Patrick Star (siapa pula itu Patrick Star? Ia angkat bahu---tidak tahu, terlintas begitu saja tadi di benak). Ah, persetan dengan itu semua, yang penting, dia harus segera membeli keperluannya dan segera keluar dari tempat itu.

"Paket untuk tahun pertama." tukasnya singkat dan cepat, merasa tak perlu untuk menyebutkan apa saja detail belanjaan ramuannya kali ini. Kalau pegawai toko ini teladan, harusnya sudah tahu apa persisnya barang-barang yang termasuk paket tahun pertama itu, bukan?

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Toko Hewan Sihir

Pemuda berambut gelap itu nampak bosan saat tengah menelusuri sepanjang jalan Diagon Alley yang masih saja ramai dipadati. Mengurungkan niatnya untuk pergi ke toko jubah Madam Malkins dan toko buku Flourish & Bloots, mengatasnamakan antrian panjang disana sebagai alasan. Deryck bukanlah termasuk salah satu individu yang menghargai apa itu budaya antre, sayangnya. Terdidik sebagai bangsawan sedari dini yang membuatnya demikian; ia terbiasa dilayani bak raja dan terlarang hukumnya untuk dibuat menunggu lama. Seharusnya para bocah-bocah idiot disana sadar akan derajatnya dan paham kalau mereka seharusnya menyingkir dan memberikan kesempatan untuknya mendapatkan pelayanan nomer satu. Dasar para kasta rendah tidak tahu diri, beraninya untuk membiarkan seorang Bradley sepertinya ikut mengantri di belakang mereka seakan kasta mereka sama. Harusnya mereka bercermin, tche.

Dan disanalah pemuda satu itu menyetop laju langkah kakinya sekarang, di depan sebuah toko yang tidak sedang dalam kondisi ramainya, yang berplang-kan ‘Toko Hewan Sihir’. Ia sendiri bukanlah pribadi yang senang memelihara sesuatu sebenarnya—terlebih makhluk hidup. Tidak menepis kenyataan bahwa ia memiliki dua ekor anjing yang sudah menjadi penemannya dua tahun belakangan, serta Labrador; kuda kesayangannya—dan juga beberapa Abraxas yang dimiliki keluarganya. Yang jelas, dia bukan seorang animals-lover, mengingat ia selama ini tidak pernah ikut campur dalam mengurus semua hewan-hewannya. Semuanya, diurus oleh para pelayan keluarganya, dia hanya lepas tangan.

Deryck berdiri angkuh di depan konter, mengamati isinya. Fokus burgundy-nya jatuh pada keberadaan seekor burung hantu elang disana—kalau tidak salah termasuk dalam jenis Eurasian Eagle Owl. Sepertinya hewan itu, boleh juga, pikirnya. Ia membawa langkahnya masuk demi melihat hewan incarannya dari radius yang lebih dekat. Hewan itu, tingginya—menurut perkiraannya—mencapai 27 inci, berbulu coklat gelap dengan paduan bintik hitam dan noda putih, dan dengan kuku serta paruh sewarna arang disertai gesture tubuh sang burung hantu elang yang terlihat begitu angkuh dan aristrokat. Deryck mengulas senyum tipis kemudian, merasa telah menentukan pilihannya.

Sepasang burgundy-nya dimanuverkan sekilas, mencari keberadaan pegawai toko disana. Tidak berminat berlama-lama disana, pemuda satu itu lantas segera menghampiri si pegawai toko dan membuka mulutnya kemudian, “Burung hantu elang di sebelah sana.” ujarnya datar seraya menunjuk ke arah kandang burung hantu elang yang ia maksud menggunakan dagunya. “beserta perlengkapannya—berapa?”

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Toko Tongkat Ollivander

Pintu toko berdenting, bersamaan dengan kedatangan seorang anak lelaki berambut keemasan dari luar toko. Deryck mengangkat sebelah alisnya ketika menyadari mata biru si anak lelaki bertemu pandang dengan sepasang iris burgundy-nya. Sekon berikutnya mengetahui perihal anak tersebut yang tersenyum ramah ke arahnya. Alih-alih balik tersenyum, pemuda Italia satu itu malah dengan sengaja mengalihkan pandangannya, membuang muka dari si anak lelaki. Jangan mengharapkan seorang Deryck Rudolf untuk bersikap ramah-tamah, terlebih pada seorang asing yang bahkan status darah dan kastanya belum ia ketahui—seperti anak lelaki berambut keemasan disana itu.

Pandangannya kini beralih pada antek-antek Ollivander yang berambut pirang kecoklatan dan bertubuh kurus di hadapannya, lalu bergeser menatap rak tinggi menjulang yang berisikan kotak-kotak kayu pipih disana. Setengah berharap jika pegawai di hadapannya itu tidak sampai harus menggerataki kotak-kotak disana demi mencari sebuah tongkat yang cocok dengannya. Dia tidak mau membuat dirinya terjebak di tempat yang sempit dan temaram ini lebih lama—seperti gadis berambut brunette disana itu, yang sudah kali keempat mencoba tongkat hingga wajah antusiasnya berganti menjadi mimik bosan dan terlihat putus asa karena tak kunjung menemukan tongkat yang cocok. Jangan sampai dia bernasib sama, tidak mau.

Deryck mendengus sinis ketika membran timpani-nya tidak sengaja mendengar suara seorang anak yang menentukan inti tongkatnya sendiri. Entah anak itu yang terlampau tolol atau mungkin hanyalah seorang muggleborn yang awam akan pengetahuan sihir sehingga melupakan satu poin penting dalam kepemilikan tongkat. Pada dasarnya, tongkat-lah yang memilih para penyihir, bukan penyihir yang memilih tongkat—bukan begitu?

“26 Desember, Birch 30,5 cm dengan inti kristalisasi darah Naga Black Hebridean, berdesir jika diayunkan harganya 14 galleon 2 knut. Ini,”

Naga Black Hebridean, ya.

Inti yang tidak begitu buruk dan tidak pula mengecewakan, mengingat jenis naga tersebut adalah yang paling agresif dibanding naga lainnya. Dan, akan berdesir jika diayunkan, katanya? Well, entahlah. Pemuda satu itu mengangkat sebelah alisnya, menerima tongkat sepanjang 30,5 senti yang diberikan si pegawai padanya tanpa banyak bicara. Coba kita lihat, apakah tongkat ini akan langsung cocok dengannya pada percobaan pertama. Semoga saja cocok.

Ada semacam aura aneh tak terdefinisakn menaunginya saat ujung jemarinya menyentuh tongkat dan mendadak sepercik bunga api memancar dari ujung tongkatnya. Deryck merasakan gelenyar kehangatan muncul, seolah-olah tangannya sudah menemukan partner yang tepat. Mengayunkan tongkatnya dengan gerakan luwes dan sempurna (ia sudah terbiasa menggunakan tongkat y’know), menimbulkan desiran yang ternyata benar adanya, menyebabkan tongkatnya bercahaya dan menyemburkan lebih banyak lagi bunga api.

Nice, sesuai harapannya.

Berhasil menemukan tongkat yang cocok pada percobaan pertama tak ayal membuat seringai puas membingkai wajah si pemuda. Deryck lantas merogoh saku celananya dan menghadirkan lima belas keping galleon di atas meja konter. “Ambil saja kembaliannya.” ujarnya acuh. Dia tidak butuh recehan knut, apalagi sickle karena galleon atas nama Bradley di Gringgots masih bergelimang adanya bukan?

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Bank Gringgots; Diagon Alley

Gringotts nampak berdiri dengan megahnya diantara suguhan bangunan-bangunan semi-bobrok yang merupakan sekumpulan dari toko-toko usang yang kentara sudah dimakan jaman. Bangunannya ber-cat gading dan merupakan bangunan yang tertinggi disana. Letaknya berada dekat toko Madam Malkins, persis di depan pertigaan jalan menuju Knocturn Alley; tempat yang sebenarnya membuat ia gatal untuk bertandang kesana. Ah, untuk urusan Knockturn Alley, ia akan memikirkannya nanti saja---sekarang urusannya pada jumlah galleon di kantung uangnya yang sudah menipis. Benar kata Sherlock, kalau ia sebaiknya mengeruk tambahan Galleon dari Gringotts, mengingat bekal galleon yang dibawanya tadi tidak terlalu banyak.

---
Masuklah, orang asing tetapi berhati-hatilah,
Terhadap dosa yang harus ditanggung orang serakah,
Karena mereka yang mengambil apa saja yang bukan haknya,
Harus membayar semahal-mahalnya.
... ... ...
---

Guratan tulisan yang terukir pada gerbang pualam Gringotts-lah yang pertama kali menyambut kedatanganya di tempat tersebut. Deryck menyoroti tulisan berisi ancaman disana disertai dengan senyum meremehkan, tak lupa memetakan ekspresi geli separo menghina. Well, tulisan itu dimatanya tak lebih dari sebuah gertakan yang bisa dipukul rata dengan ancaman semacam 'Jangan memakan yang manis-manis kalau tak mau gigimu rusak'. Sama-sama sebuah larangan tak bernilai, yang biasanya cenderung dilecehkan daripada ditaati. Yeaa, walaupun dia tahu sebenarnya hanya orang tak berotak sajalah yang punya nyali untuk mencoba mencuri sesuatu dari Gringotts. Dan ternyata orang semacam itu ada (kalau kau sudah membaca Daily Prophet edisi hari ini, kau pasti tahu seputar peristiwa di ruang tujuh ratus tiga belas). Tidak usah dibahas, bukan urusannya lagipula.

Sekali lagi pemuda yang lama berdiam di tanah Skotlandia itu memetakan seringai melecehkan sebagai kaleidoskop wajahnya. Kali ini ia memandang rendah para makhluk pendek yang pertumbuhannya layaknya pohon bonsai; kerdil, dengan bentuk wajah yang sangat 'ouch!' yang terlihat sedang sangat (sok) sibuk disana. Para Goblin; makhluk berukuran mini (yang sama sekali tidak imut) yang teramat congkak dan terkenal jauh dari kata ramah. Yang matanya selalu minta dicolok pakai lidi serta mulut yang minta dijejalin cabai---beruntung diantara kejelekannya itu mereka setidaknya punya keahlian dalam mengurusi keuangan dan perbankan. Yang jelas, dia tidak pernah menyukai berhadapan dengan mereka kaum goblin, karena pengalaman hidupnya membuktikan bahwa setiap interaksi yang dilakukannya dengan para makhluk kerdil itu selalu berhasil membuatnya jengkel. You-know-why.

"300 galleon. Atas nama Bradley." Singkat, padat, dan jelas.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Interlude; Leaky Cauldron

“Whiski Api—dan kau?”

Diabaikannya sejenak pertanyaan Sherlock sementara sepasang iris burgundy miliknya menjelajahi serentetan kata yang terdapat dalam daftar menu. Butterbeer, air mineral, whiski api, mead, cola, capuccino..etc; well, tidak ada satupun yang menarik minatnya. “Ah! Dia butterbeer saja.” Sherlock kembali berucap pada si pelayan bar, menyebutkan pesanan Deryck bahkan sebelum adiknya itu menjawab barang sepatah pun. Lagi-lagi kakak laki-lakinya itu bersikap seenak jidatnya. Sayang, kali ini ia sedang tak berniat untuk menuai protes. Toh, butterbeer tidak terlalu buruk.

“Tempat ini.. kumuh sekali.” Pemuda sebelas tahun itu mulai mendecak, sisi kritis dalam dirinya mulai menyeruak. “Ha. Kau pikir?” Sherlock menimpali, menyeringai penuh ejek. Mengambil se-pack sigaret-nya yang berbau manis dari balik saku dan mengambil satu isinya. Entah sejak kapan kakak lelakinya itu berteman dengan lentingan berisi tembakau tersebut, yang jelas dia baru mendapati kakaknya merokok saat liburan musim panas lalu. “Kau menciumnya?” Sherlock mulai menyalakan pemantik. “Bau muggle, maksudku.” Asap putih mengepul dari sudut mulut Sherlock kemudian, bersamaan dengan aroma yang manis melayang-layang di udara sekitar tempat mereka bernaung. “Maka itu aku tak pernah betah berada disini lama-lama.” Sebuah decakan kecil, “Di Durmstrang, tidak ada bau seperti ini, kau tahu.”

“Aku tahu.”—dan tolong hentikan untuk mengungkit Durmstrang, bisa? Hal itu hanya membuatnya jengah. You-know-why.

“Whiski Api dan butterbeer.”

Pemuda berusia enambelas tahun itu—Sherlock lima tahun lebih tua dari Deryck—menganggukkan kepalanya dingin saat pelayan bar mengantarkan pesanan mereka seraya menyalakan sigaretnya yang tadi mati. Sekon berikut melepaskan lentingan tembakau tersebut dari bibirnya, meneguk whiski api dan kembali menyesap sigaretnya dengan satu tarikan panjang. My my, lagakmu tua sekali, Sherlock, maki Deryck dalam hati. “Kuharap kau tidak bergaul dengan mereka.” Sherlock mengepulkan asap sigaretnya, membuat wajahnya tersaput kabut kelabu. Serta merta mengamati adiknya dari balik kepulan asap. Memiringkan kepalanya dan berbisik kemudian, “mereka—para.. mud-blood.”

Ia mendengus, setengah acuh. “Kurasa kau tak perlu khawatir akan hal itu, Sherlock.” tandas Deryck dengan nada malas yang terkesan diseret-seret. Baik ayahnya maupun kakaknya sama saja parno-nya—tak pernah absen mendoktrinnya untuk tidak membiarkan diri bergaul dengan entitas non-pureblood.

“Nice.” Sherlock tersenyum timpang kemudian, detik berikutnya melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Ah, kurasa cukup sampai disini aku menemanimu, Deryck. Aku tak bisa lama-lama. Yea, kau tahu, aku banyak urusan.”

Sudah mau pergi? Pergi saja, seakan Deryck peduli saja.

“Oh ya, ini.” Sherlock beranjak dari kursinya, meletakkan sebuah kunci emas di atas meja, “For Gringgots.” ucap Sherlock sambil lalu, berjalan keluar dari Leaky Cauldron dengan langkah tergesa, meninggalkan Deryck Rudolf Bradley sendiri disana. Tak mau ambil peduli dengan kepergian sang kakak, pemuda kelahiran Glasgow itu mulai meneguk butterbeer-nya (yang sudah mendingin karena cukup lama dianggurkannya) dalam diam sementara sudut matanya menangkap sebuah siluet berjalan mendekat ke arahnya.

Siapa? Ia angkat bahu.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Surat Tahun Pertama

Ringkihan Labrador yang menggema di udara memecahkan konsentrasinya. Reflek, ditariknya tali kekang sang kuda, berusaha menenangkan. Kedua bola mata burgundy itu berputar malas, menemukan tersangka yang menjadi alasan mengapa tadi Labrador sempat hilang kendali. Adalah Gantt, yang tiba-tiba saja memunculkan dirinya dengan sebuah punyi ‘plop’ pelan, peri rumahnya.

“Maafkan kelancangan Gantt yang sudah mengganggu acara berkuda tuan.” cicit Gantt sembari membungkukkan badannya dalam-dalam. Tak ada respon berarti yang pemuda sebelas tahun itu beri. Deryck hanya menarik nafas tajam dan mendengus, setengah tak peduli, pemuda satu itu malah mengunci pandangannya pada hamparan langit Skotlandia yang terbentang diatasnya. Sekilas nampak seperti tidak mengakui akan keberadaan si peri rumah di dekatnya.

“Your presence is requested by Mister.”

Gantt kembali mencicit, menjelaskan maksud kedatangannya, membuat alis pemuda itu seketika bertaut. Marcus—memanggilnya? Tidak biasanya. Selama ini ayahnya itu lebih senang berurusan dengan putra kebanggaannya, dengan Sherlock, kakaknya—memang siapa lagi? Dia? Ha, kau salah besar. Keberadaannya selama ini bahkan seperti tak pernah dianggap oleh Marcus. Yang ada di benak ayahnya hanyalah Sherlock, Sherlock dan.. Sherlock. Tidak pernah namanya. Sigh.

“Berhenti memandangku seperti itu, Gantt.” si pemuda mulai angkat bicara, membiarkan nada tidak suka berkeliaran bebas dalam suaranya saat menyadari mata besar Gantt yang sudah berani menatapnya. “Maafkan Gantt, tuan..” Si peri rumah meremas-remas bajunya, tubuhnya gemetaran. Membungkukkan kembali badannya dalam-dalam hingga hidung pinokio-nya hampir menyentuh tanah pekarangan. “Gantt tidak pernah bermaksud untuk—”

“Kau bisa pergi sekarang.” Ia menyela, tak mau lebih larut terlibat perbincangan dengan si peri rumah.

“Yes, Sir.”

‘PLOP’—Lecutan cemeti.
xXx

 “Memanggilku, ayah?”

Deryck menutup pintu di belakangnya. Berdiri tegak dengan kepala yang sedikit menunduk—formalitas. “Deryck, my son..” sebuah bisikan menyambut kedatangannya. Satu tangan Marcus bertumpu pada bahu sofa, memberikan isyarat lewat matanya akan keberadaan sebuah benda yang tergeletak diatas meja; sebuah surat. “For you,” Rasanya ia tidak perlu bertanya mengenai perihal surat tersebut. Usianya genap sebelas tahun sekarang—dan empat bulan lagi duabelas—pertanda kalau saat baginya sudah tiba. Sebuah masa dimana dia akan menempuh pendidikan sihir di Durmstrang, seperti halnya Sherlock dan juga Marcus.

Pria itu menghela nafas sesaat sebelum menyambung kalimatnya, “..from Hogwarts.”

Wait—Hogwarts? Dia tidak salah dengar ‘kan?

“You say, Hog..warts?” Jangan tanya mengapa ada nada terkejut yang ditemukan dalam suaranya saat itu. Ayolah, semua juga tahu kalau ke-semua generasi Bradley adalah lulusan Durmstrang. Tidak pernah ada dalam sejarahnya seorang Bradley bersekolah di Hogwarts—atau bahkan Beauxbatons sekalipun. Ah, mungkin ada—dirinya, nanti. N’ope, bermimpi pun ia tak pernah.

“Are you kidding, father? So.. funny.” Ujarnya santai, nadanya seperti seolah dia baru saja mendapati sebuah lelucon konyol, mengucapkan kata ‘funny’ tanpa ada perubahan raut berarti di wajahnya sama sekali—datar, tanpa ada tawa ataupun seringai. Sebuah topeng, guna menutupi sebersit kecemasan yang kini menderanya.

“I’m not kidding, son..”

Pemuda itu bergeming. Menatap penuh sosok pria yang kini tidak sedang memetakan seringai canda, impresif seperti biasa. Untuk sesuatu seperti ‘selera humor’, ayahnya (dan ia pun juga sama) memang agak di luar daftar. Direnggutnya segera sepucuk amplop kekuningan dengan segel ungu dari atas meja. Membacanya. Memastikan.

Sontak rahang pemuda itu mengeras. Tak ada lagi ekspresi datar yang sedari tadi ia pertahankan, hanya tersisa guratan shock di wajah kakunya. “I don’t believe this. This is impossible, rite?” Sebuah elakan, tentu saja. Yang benar sajalah, mana ada takdir yang melenceng seperti ini. Ya, takdir; karena nyatanya Durmstrang adalah takdir setiap Bradley. Durmstrang bukanlah pilihan. Dan Durmstrang selalu memilih Bradley-Bradley junior untuk menempuh pendidikan sihir (terutama ilmu sihir hitam) disana. Tak pernah luput, barang seorang pun.

“Kemungkinan itu selalu ada.” Marcus beranjak dari kursinya, berjalan perlahan menuju jendela, melanjutkan perkataannya tanpa menoleh ke arahnya. “The Shellden had schooled in ‘Ogwarts too..”

The Shellden had schooled in Hogwarts, katanya?

“Mum didn’t.” sergahnya cepat. Meskipun ibunya sudah keburu mati—bahkan sebelum dia bisa merangkak—tapi ia tahu kalau ibunya adalah seorang lulusan Beauxbatons. Yeah, dan ia pun juga tahu perihal fakta bahwa beberapa peranakan Shellden menjadi penghuni sekolah sihir di Britania Raya itu—dan jangan hubungkan dia dengan itu semua, dia berbeda y’know. “And I am a Bradley, father..” frasanya ditahan, menimbang, “and the right place for Bradley is Durmstrang, isn’t it?” Sepasang mata milik pemuda berambut gelap itu memandang ganjil punggung tegap sang ayah sementara alis hitamnya menyatu, mulai merasa dipermainkan.

“How if.. that I chose Hogwarts to you, hm?”

“… … …”

“Son, I have a mission for you.”

Rasanya ia mulai mengerti kemana arah pembicaraan kali ini. Tak perlu lagi ia banyak bertanya, baginya semua sudah terasa jelas. Ketika Marcus sudah membuat keputusan, bisa apa orang lain? Null. Marcus menginginkannya bersekolah di Hogwarts—bukan Durmstrang. Dan dia, tak pernah sekalipun meragui setiap keputusan yang diambil oleh ayahnya.

“Would you?”

Dan sebuah anggukan yang pemuda itu beri kemudian.

Jika ini adalah cara untuk membuat ayahnya bangga padanya, kenapa tidak?

“Yes, I will.”

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Biodata Karakter

(c) Chatterley @IH
Nama: Deryck Rudolf Bradley

Jenis Kelamin: Male

Status Darah: Pureblood

Asrama: SLYTHERIN

Tempat Tanggal Lahir: Glasgow (Skotlandia), 26 Desember 1979

Kewarganegaraan: Half Italian-Scotland

Tongkat Sihir: Birch, Inti Kristalisasi Darah Naga Black Hebridean; 30,5 cm.

Ciri Fisik: Burgundy Eyes, Dark-brown Hair, Charming. Jangkung-Tegap.

Visualisasi Character: Michael Russo @ LookBook

Nama Ayah: Marcus Bradley
Nama Ibu: Ashley Shellden – Bradley
Nama Kakak: Sherlock Bradley
Nama Kakek: Rudolf Bradley

Hewan Peliharaan: Burung hantu elang warna cokelat; Savant, Siberian Husky; Boyd, Kuda; Labrador, Serigala; Brook.

Latar Belakang Karakter:

Keluarga Bradley adalah keluarga penyihir Italia berdarah murni. Salah satu klan pendukung penyihir hitam Gellert Grindelwald pada masa kejayaannya—dan sampai setelah keruntuhan-nya pun masih berpihak kepada penyihir hitam (lainnya), meski tidak memperlihatkannya secara terang-terangan. Rasis terhadap mud-blood/muggle, sangat menjaga kemurnian darahnya.

Putra seorang La Cosa Nostra Italia; Marcus Bradley. Marcus mempunyai ambisi untuk membalaskan dendamnya akan kematian istrinya (yang tewas dalam pembantaian para muggle); membantai balik para muggle yang terlibat dengan menjadikan organisasi mafia-nya sebagai alat.

Putra ke-dua dari dua bersaudara.

Keterangan Tambahan:
Ambisi utamanya; menjadi putra kebanggaan sang Ayah—menjadi Bradley seutuhnya.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO