Rasis.
Seperti jaman Jerman Nazi yang mengagung-agungkan ras Aria Nordica, menandaskan bahwa kemurnian rasnya mesti dipertahankan agar pada suatu hari kelak dapat mengambil alih dunia. Menganggap ras lain sebagai kelas dua—sub human yang harus dilenyapkan karena dikhawatirkan akan menjadi suatu ras beracun yang hidup dari ras lainnya dan melemahkan mereka. Atau seperti pada saat peradaban India Kuno, dimana perkara hal menikah dengan yang di luar kastanya adalah sangat dihindari dan bernilai terlarang.
Rasisme; konon adalah frasa yang berkonotasi buruk, sifatnya kontroversial—bahkan dianggap ilegal. Tapi yea, siapa yang perduli sih, memangnya? Lihat saja bagaimana sistem perbudakan yang katanya sudah resmi dihapuskan sejak jaman Revolusi Prancis dan dipatenkan ketiadaannya dalam sebuah Declaration of Human Right—yang ternyata tak menyisakan pengaruh sama sekali, mengingat kenyataan bahwa sampai dewasa ini sistem perbudakan masih memamah biak dengan kecacatan dalam pengontrolannya.
Sama saja halnya seperti tidak diperijinkan adanya suatu yang bersifat rasis; sama-sama sebuah faham yang hakekatnya hanyalah untuk diludahi adanya, hanya akan dianggap setara dengan angin lalu—bukan begitu?
Jadi, biarkan saja dia, Deryck Rudolf Bradley, tetap 'begini' apa adanya. Biarkan dia untuk menatap rendah para sosok-sosok dalam rombongan kecilnya yang diperkirakan (pada awal kesan pertama) berasal dari strata yang berbeda. Bukan salah bunda mengandung, sikap rasis yang seperti ini nyatanya sudah mendarah daging, sudah menjadi bawaan orok—sebut saja begitu. Terdoktrin dari keluarganya yang.. ya, begitulah, yang secara otomatis turut andil dalam penciptaan dirinya menjadi sosok pribadi seperti ini. Keluarganya, adalah salah satu dari sedikit klan berdarah murni yang tersisa, yang berkiblat pada penyihir hitam (ingat bahwa seluruh keturunan Bradley adalah lulusan Durmstrang? Pengecualian untuk si generasi ketigabelas) dan turut menyerukan pembersihan mudblood beserta para darah pengkhianat dari muka bumi—untuk sekedar info, kalau kau mau tahu.
Dalam usianya yang akan menginjak lusin di penghujung bulan natal nanti, ia sudah merasa cukup kenyang dalam memerani sosok anak yang patuh, selalu berada dalam jejak kaki sang Ayah. Dibawa belok ke kanan, ke kiri, ke barat, ke timur—kemanapun, ia tak akan protes. Pikirannya pun sudah terkontaminasi dan diracun oleh banyak hal. Wajarlah pabila pemuda separo Italia-Skotlandia itu turut mengamini sebuah dalil tak tertulis semacam kalau semua keturunan darah murni itu tidak diperbolehkan untuk bergaul dengan para sub-human, dengan status darah lain yang dianggap lebih rendah derajatnya. Tak perduli seberapa kaya rayanya seorang darah campuran ataupun si darah lumpur, karena darah yang sudah kotor tidak mungkin menjadi bersih kembali, bukan? Seperti halnya berusaha memegang matahari, hal yang bersifat mustahil adanya. Sebuah dalil yang begitu mudahnya dicerna otak dan diterapkannya dengan sebijak-bijaknya.
Atensi berhasil tersita saat rumah siputnya dijamahi senandung lagu bermelodikan nada-nada sumbang dengan lirik tak berbobot yang bergema di seluruh penjuru Aula, membuat dahi sang Bradley muda mengernyit kritis. Dua orb burgundy pelihatnya serasa dipaksa untuk menemukan si sumber suara yang membuat telinganya berdengung. Mengangkat sebelah alis hitamnya tinggi-tinggi saat matanya bersirobok pandang dengan sebuah topi kerucut kumal di pelataran Aula. Topi buluk itu—yang sedang bernyanyi, eh? Sebuah absurditas lainnya—setelah penampakan manusia setengah troll yang tadi menggiring rombongannya. My my.. pantas saja suara itu terlalu jelek untuk ditangkap oleh telinganya, tch. Dan ijinkanlah Deryck Rudolf ini untuk menulikan telinganya sejenak, setidaknya sampai mulut tidak prorporsional si topi buluk membungkam.
Tick-tock, tick-tock...
Yang terjadi setelahnya adalah menit-menit yang berlalu dengan kemonotonan ritme. Waktu digulir tanpa spasi jeda, baik koma maupun titik. Satu persatu nama digemakan dari pita suara milik seorang wanita berahang tegas dengan keriput di wajah—pertanda sosok itu sudah tua renta, dilafalkan secara alfabetis dari ke duapuluhenam aksara. Diikuti pergerakan anak per-anak secara ritmik dari dalam barisan yang merengsek maju ke podium. Lalu dipersilahkan duduk diatas sebuah kursi kayu polos sepi pelitur berkaki ganjil dan diperkenankan untuk mencoba memakai onggokan topi lusuh yang mengaku sebagai penyeleksi. Slide selanjutnya adalah si anak-yang-namanya-dipanggil-tadi duduk anteng di kursi seraya menanti si topi seleksi menggemuruhkan sebuah nama diantara Gryffindor; Slytherin; Ravenclaw; dan Hufflepuff—yang alhasil mengundang beragam reaksi dari para penghuni dari empat meja panjang disana. Begitu seterusnya, berulang-ulang, hingga membuat pemuda itu bosan.
"Bradley, Deryck Rudolf."
Namanya disebut, akhirnya. Keturunan Bradley ketigabelas itu lantas melangkah dengan cara paling wajar yang pernah ia terapkan; menerobos barisan tanpa permisi. Stagnansi-nya mengesankan. Berjalan menuju altar tanpa sedikit pun meluputkan manner berselubung keangkuhan khasnya. Melakukan hal yang seperti anak sebelumnya lakukan; duduk manis dan berpasrah diri saat kepalanya dipakaikan onggokkan benda sampah tanpa banyak bicara. Lagaknya nampak ogah-ogahan dan (tetap) minus senyum.
Seperti jaman Jerman Nazi yang mengagung-agungkan ras Aria Nordica, menandaskan bahwa kemurnian rasnya mesti dipertahankan agar pada suatu hari kelak dapat mengambil alih dunia. Menganggap ras lain sebagai kelas dua—sub human yang harus dilenyapkan karena dikhawatirkan akan menjadi suatu ras beracun yang hidup dari ras lainnya dan melemahkan mereka. Atau seperti pada saat peradaban India Kuno, dimana perkara hal menikah dengan yang di luar kastanya adalah sangat dihindari dan bernilai terlarang.
Rasisme; konon adalah frasa yang berkonotasi buruk, sifatnya kontroversial—bahkan dianggap ilegal. Tapi yea, siapa yang perduli sih, memangnya? Lihat saja bagaimana sistem perbudakan yang katanya sudah resmi dihapuskan sejak jaman Revolusi Prancis dan dipatenkan ketiadaannya dalam sebuah Declaration of Human Right—yang ternyata tak menyisakan pengaruh sama sekali, mengingat kenyataan bahwa sampai dewasa ini sistem perbudakan masih memamah biak dengan kecacatan dalam pengontrolannya.
Sama saja halnya seperti tidak diperijinkan adanya suatu yang bersifat rasis; sama-sama sebuah faham yang hakekatnya hanyalah untuk diludahi adanya, hanya akan dianggap setara dengan angin lalu—bukan begitu?
Jadi, biarkan saja dia, Deryck Rudolf Bradley, tetap 'begini' apa adanya. Biarkan dia untuk menatap rendah para sosok-sosok dalam rombongan kecilnya yang diperkirakan (pada awal kesan pertama) berasal dari strata yang berbeda. Bukan salah bunda mengandung, sikap rasis yang seperti ini nyatanya sudah mendarah daging, sudah menjadi bawaan orok—sebut saja begitu. Terdoktrin dari keluarganya yang.. ya, begitulah, yang secara otomatis turut andil dalam penciptaan dirinya menjadi sosok pribadi seperti ini. Keluarganya, adalah salah satu dari sedikit klan berdarah murni yang tersisa, yang berkiblat pada penyihir hitam (ingat bahwa seluruh keturunan Bradley adalah lulusan Durmstrang? Pengecualian untuk si generasi ketigabelas) dan turut menyerukan pembersihan mudblood beserta para darah pengkhianat dari muka bumi—untuk sekedar info, kalau kau mau tahu.
Dalam usianya yang akan menginjak lusin di penghujung bulan natal nanti, ia sudah merasa cukup kenyang dalam memerani sosok anak yang patuh, selalu berada dalam jejak kaki sang Ayah. Dibawa belok ke kanan, ke kiri, ke barat, ke timur—kemanapun, ia tak akan protes. Pikirannya pun sudah terkontaminasi dan diracun oleh banyak hal. Wajarlah pabila pemuda separo Italia-Skotlandia itu turut mengamini sebuah dalil tak tertulis semacam kalau semua keturunan darah murni itu tidak diperbolehkan untuk bergaul dengan para sub-human, dengan status darah lain yang dianggap lebih rendah derajatnya. Tak perduli seberapa kaya rayanya seorang darah campuran ataupun si darah lumpur, karena darah yang sudah kotor tidak mungkin menjadi bersih kembali, bukan? Seperti halnya berusaha memegang matahari, hal yang bersifat mustahil adanya. Sebuah dalil yang begitu mudahnya dicerna otak dan diterapkannya dengan sebijak-bijaknya.
Atensi berhasil tersita saat rumah siputnya dijamahi senandung lagu bermelodikan nada-nada sumbang dengan lirik tak berbobot yang bergema di seluruh penjuru Aula, membuat dahi sang Bradley muda mengernyit kritis. Dua orb burgundy pelihatnya serasa dipaksa untuk menemukan si sumber suara yang membuat telinganya berdengung. Mengangkat sebelah alis hitamnya tinggi-tinggi saat matanya bersirobok pandang dengan sebuah topi kerucut kumal di pelataran Aula. Topi buluk itu—yang sedang bernyanyi, eh? Sebuah absurditas lainnya—setelah penampakan manusia setengah troll yang tadi menggiring rombongannya. My my.. pantas saja suara itu terlalu jelek untuk ditangkap oleh telinganya, tch. Dan ijinkanlah Deryck Rudolf ini untuk menulikan telinganya sejenak, setidaknya sampai mulut tidak prorporsional si topi buluk membungkam.
Tick-tock, tick-tock...
Yang terjadi setelahnya adalah menit-menit yang berlalu dengan kemonotonan ritme. Waktu digulir tanpa spasi jeda, baik koma maupun titik. Satu persatu nama digemakan dari pita suara milik seorang wanita berahang tegas dengan keriput di wajah—pertanda sosok itu sudah tua renta, dilafalkan secara alfabetis dari ke duapuluhenam aksara. Diikuti pergerakan anak per-anak secara ritmik dari dalam barisan yang merengsek maju ke podium. Lalu dipersilahkan duduk diatas sebuah kursi kayu polos sepi pelitur berkaki ganjil dan diperkenankan untuk mencoba memakai onggokan topi lusuh yang mengaku sebagai penyeleksi. Slide selanjutnya adalah si anak-yang-namanya-dipanggil-tadi duduk anteng di kursi seraya menanti si topi seleksi menggemuruhkan sebuah nama diantara Gryffindor; Slytherin; Ravenclaw; dan Hufflepuff—yang alhasil mengundang beragam reaksi dari para penghuni dari empat meja panjang disana. Begitu seterusnya, berulang-ulang, hingga membuat pemuda itu bosan.
"Bradley, Deryck Rudolf."
Namanya disebut, akhirnya. Keturunan Bradley ketigabelas itu lantas melangkah dengan cara paling wajar yang pernah ia terapkan; menerobos barisan tanpa permisi. Stagnansi-nya mengesankan. Berjalan menuju altar tanpa sedikit pun meluputkan manner berselubung keangkuhan khasnya. Melakukan hal yang seperti anak sebelumnya lakukan; duduk manis dan berpasrah diri saat kepalanya dipakaikan onggokkan benda sampah tanpa banyak bicara. Lagaknya nampak ogah-ogahan dan (tetap) minus senyum.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO