Pages

D.R.B

11.12.10

Interlude; Leaky Cauldron

“Whiski Api—dan kau?”

Diabaikannya sejenak pertanyaan Sherlock sementara sepasang iris burgundy miliknya menjelajahi serentetan kata yang terdapat dalam daftar menu. Butterbeer, air mineral, whiski api, mead, cola, capuccino..etc; well, tidak ada satupun yang menarik minatnya. “Ah! Dia butterbeer saja.” Sherlock kembali berucap pada si pelayan bar, menyebutkan pesanan Deryck bahkan sebelum adiknya itu menjawab barang sepatah pun. Lagi-lagi kakak laki-lakinya itu bersikap seenak jidatnya. Sayang, kali ini ia sedang tak berniat untuk menuai protes. Toh, butterbeer tidak terlalu buruk.

“Tempat ini.. kumuh sekali.” Pemuda sebelas tahun itu mulai mendecak, sisi kritis dalam dirinya mulai menyeruak. “Ha. Kau pikir?” Sherlock menimpali, menyeringai penuh ejek. Mengambil se-pack sigaret-nya yang berbau manis dari balik saku dan mengambil satu isinya. Entah sejak kapan kakak lelakinya itu berteman dengan lentingan berisi tembakau tersebut, yang jelas dia baru mendapati kakaknya merokok saat liburan musim panas lalu. “Kau menciumnya?” Sherlock mulai menyalakan pemantik. “Bau muggle, maksudku.” Asap putih mengepul dari sudut mulut Sherlock kemudian, bersamaan dengan aroma yang manis melayang-layang di udara sekitar tempat mereka bernaung. “Maka itu aku tak pernah betah berada disini lama-lama.” Sebuah decakan kecil, “Di Durmstrang, tidak ada bau seperti ini, kau tahu.”

“Aku tahu.”—dan tolong hentikan untuk mengungkit Durmstrang, bisa? Hal itu hanya membuatnya jengah. You-know-why.

“Whiski Api dan butterbeer.”

Pemuda berusia enambelas tahun itu—Sherlock lima tahun lebih tua dari Deryck—menganggukkan kepalanya dingin saat pelayan bar mengantarkan pesanan mereka seraya menyalakan sigaretnya yang tadi mati. Sekon berikut melepaskan lentingan tembakau tersebut dari bibirnya, meneguk whiski api dan kembali menyesap sigaretnya dengan satu tarikan panjang. My my, lagakmu tua sekali, Sherlock, maki Deryck dalam hati. “Kuharap kau tidak bergaul dengan mereka.” Sherlock mengepulkan asap sigaretnya, membuat wajahnya tersaput kabut kelabu. Serta merta mengamati adiknya dari balik kepulan asap. Memiringkan kepalanya dan berbisik kemudian, “mereka—para.. mud-blood.”

Ia mendengus, setengah acuh. “Kurasa kau tak perlu khawatir akan hal itu, Sherlock.” tandas Deryck dengan nada malas yang terkesan diseret-seret. Baik ayahnya maupun kakaknya sama saja parno-nya—tak pernah absen mendoktrinnya untuk tidak membiarkan diri bergaul dengan entitas non-pureblood.

“Nice.” Sherlock tersenyum timpang kemudian, detik berikutnya melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Ah, kurasa cukup sampai disini aku menemanimu, Deryck. Aku tak bisa lama-lama. Yea, kau tahu, aku banyak urusan.”

Sudah mau pergi? Pergi saja, seakan Deryck peduli saja.

“Oh ya, ini.” Sherlock beranjak dari kursinya, meletakkan sebuah kunci emas di atas meja, “For Gringgots.” ucap Sherlock sambil lalu, berjalan keluar dari Leaky Cauldron dengan langkah tergesa, meninggalkan Deryck Rudolf Bradley sendiri disana. Tak mau ambil peduli dengan kepergian sang kakak, pemuda kelahiran Glasgow itu mulai meneguk butterbeer-nya (yang sudah mendingin karena cukup lama dianggurkannya) dalam diam sementara sudut matanya menangkap sebuah siluet berjalan mendekat ke arahnya.

Siapa? Ia angkat bahu.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar