Pemuda kelahiran Glasgow itu memilih menyandarkan raganya sejenak di ujung gerbong seraya menatap kosong suasana peron yang sudah tersterilkan dari murid Hogwarts. Menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan membiarkan kopernya tergeletak asal di sampingnya seakan benda itu sama sekali tidak penting. Kedua mata burgundy-nya melebar sepersekian detik saat menyadari kehadiran figur pria berbadan tegap yang kini berdiri bersanding dengan Sherlock. Ayahnya, (yang entah dari mana datangnya, aparrate mungkin) yang kini tengah tersenyum asimetris, padanya.
- - -
“Do not disapointed me, son.”
“Yes, father.”
- - -
Sebuah anggukan dingin diberikan pemuda itu kemudian, positif. Pertanda bahwa ia mengerti akan maksud di balik senyuman Marcus yang langka itu. Matanya tak berkedip saat menatap siluet Marcus dan Sherlock yang kini semakin mengecil. Detik berikutnya menghilang sempurna saat rel mulai berkelok. "Farewell, Durmstrang." bisik pemuda itu pelan, membiarkan frasanya dilarikan sang angin, entah dibawa kemana.
Benaknya kini melayang pada Durmstrang, Hogwarts, Marcus—dan juga seputar misi yang diberikan sang Ayah padanya. Apa keputusannya ini sudah benar? Ia mencelos, tak menemukan jawaban dari pertanyaan yang belakangan ini menghantui pikirannya, membuat beberapa malam ini tidurnya jauh dari kata lelap. Mungkin memang ia harus menerima bahwa terkadang realita tak sejalan dengan harapan. Ada kalanya kita mengelabui garis takdir, melencenginya semata demi nafsu duniawi yang tak pernah kekal. Dan ada pula saatnya prinsip 'The right man in the right place' diludahi kesakralannya—kata Marcus, sesekali mengambil daerah orang lain itu baik.
Deryck menghela nafas berat, memijit keningnya yang kini terasa membatu. Pemandangan di luar jendela yang sudah berganti dengan pohon-pohon yang berkelebat cepat menyadarkan pemuda itu kemudian. Ia tidak mungkin tetap berada disana selama perjalanan. Selain karena faktor bahwa nanti kakinya bisa pegal, juga karena Hogwarts Express bukanlah layaknya kereta ekonomi muggle yang membiarkan penumpangnya untuk berdiri selama perjalanan. Telah disediakan ruang untuk disinggahi setiap murid Hogwarts, dan mubazir hukumnya kalau diabaikan.
And here he goes, walking on corridor, seeking for empty compartment. Sesekali pemuda satu itu berjalan miring untuk menghindari terjadinya kontak fisik dengan beberapa anak lainnya yang ia temui di sepanjang koridor. Matanya yang berwarna burgundy menebar fokus ke kompartemen-kompartemen dengan pintu setengah terbuka yang dilaluinya. Penuh, penuh—dan penuh, lagi.
Sigh.
Menemukan kompartemen yang sempurna nampaknya butuh tenaga ekstra, eh? Tche.
Langkah sepatu kedsnya yang sedari tadi berdentum ritmik di lantai koridor mendadak terhenti saat melewati kompartemen B. Baru terisi dua, nice. Kaki-kaki jenjang itu melangkah masuk, lagaknya acuh. Ia tak perlu meminta ijin terlebih dahulu 'kan? Tho kompartemen ini milik bersama, meski sebenarnya ia enggan untuk berbagi—dalam konteks ini, berbagi tempat—dengan orang lain, terlebih dengan seorang asing. Dia lebih suka menjadi penguasa tunggal, asal kau tahu. Deryck mengerling sekilas pada dua anak adam yang sudah berada lebih dulu disana dengan tatapan datar khasnya, satu alisnya kedapatan naik sekian mili diatas alis lainnya saat melihat keberadaan tangan salah satu anak lelaki disana yang tidak wajar. "Kalian—sedang apa, hm?" ujarnya dengan penekanan pada dua kata terakhir. Mencurigakan. Jangan bilang..
...jeruk makan jeruk.
- - -
“Do not disapointed me, son.”
“Yes, father.”
- - -
Sebuah anggukan dingin diberikan pemuda itu kemudian, positif. Pertanda bahwa ia mengerti akan maksud di balik senyuman Marcus yang langka itu. Matanya tak berkedip saat menatap siluet Marcus dan Sherlock yang kini semakin mengecil. Detik berikutnya menghilang sempurna saat rel mulai berkelok. "Farewell, Durmstrang." bisik pemuda itu pelan, membiarkan frasanya dilarikan sang angin, entah dibawa kemana.
Benaknya kini melayang pada Durmstrang, Hogwarts, Marcus—dan juga seputar misi yang diberikan sang Ayah padanya. Apa keputusannya ini sudah benar? Ia mencelos, tak menemukan jawaban dari pertanyaan yang belakangan ini menghantui pikirannya, membuat beberapa malam ini tidurnya jauh dari kata lelap. Mungkin memang ia harus menerima bahwa terkadang realita tak sejalan dengan harapan. Ada kalanya kita mengelabui garis takdir, melencenginya semata demi nafsu duniawi yang tak pernah kekal. Dan ada pula saatnya prinsip 'The right man in the right place' diludahi kesakralannya—kata Marcus, sesekali mengambil daerah orang lain itu baik.
Deryck menghela nafas berat, memijit keningnya yang kini terasa membatu. Pemandangan di luar jendela yang sudah berganti dengan pohon-pohon yang berkelebat cepat menyadarkan pemuda itu kemudian. Ia tidak mungkin tetap berada disana selama perjalanan. Selain karena faktor bahwa nanti kakinya bisa pegal, juga karena Hogwarts Express bukanlah layaknya kereta ekonomi muggle yang membiarkan penumpangnya untuk berdiri selama perjalanan. Telah disediakan ruang untuk disinggahi setiap murid Hogwarts, dan mubazir hukumnya kalau diabaikan.
And here he goes, walking on corridor, seeking for empty compartment. Sesekali pemuda satu itu berjalan miring untuk menghindari terjadinya kontak fisik dengan beberapa anak lainnya yang ia temui di sepanjang koridor. Matanya yang berwarna burgundy menebar fokus ke kompartemen-kompartemen dengan pintu setengah terbuka yang dilaluinya. Penuh, penuh—dan penuh, lagi.
Sigh.
Menemukan kompartemen yang sempurna nampaknya butuh tenaga ekstra, eh? Tche.
Langkah sepatu kedsnya yang sedari tadi berdentum ritmik di lantai koridor mendadak terhenti saat melewati kompartemen B. Baru terisi dua, nice. Kaki-kaki jenjang itu melangkah masuk, lagaknya acuh. Ia tak perlu meminta ijin terlebih dahulu 'kan? Tho kompartemen ini milik bersama, meski sebenarnya ia enggan untuk berbagi—dalam konteks ini, berbagi tempat—dengan orang lain, terlebih dengan seorang asing. Dia lebih suka menjadi penguasa tunggal, asal kau tahu. Deryck mengerling sekilas pada dua anak adam yang sudah berada lebih dulu disana dengan tatapan datar khasnya, satu alisnya kedapatan naik sekian mili diatas alis lainnya saat melihat keberadaan tangan salah satu anak lelaki disana yang tidak wajar. "Kalian—sedang apa, hm?" ujarnya dengan penekanan pada dua kata terakhir. Mencurigakan. Jangan bilang..
...jeruk makan jeruk.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar