Ringkihan Labrador yang menggema di udara memecahkan konsentrasinya. Reflek, ditariknya tali kekang sang kuda, berusaha menenangkan. Kedua bola mata burgundy itu berputar malas, menemukan tersangka yang menjadi alasan mengapa tadi Labrador sempat hilang kendali. Adalah Gantt, yang tiba-tiba saja memunculkan dirinya dengan sebuah punyi ‘plop’ pelan, peri rumahnya.
“Maafkan kelancangan Gantt yang sudah mengganggu acara berkuda tuan.” cicit Gantt sembari membungkukkan badannya dalam-dalam. Tak ada respon berarti yang pemuda sebelas tahun itu beri. Deryck hanya menarik nafas tajam dan mendengus, setengah tak peduli, pemuda satu itu malah mengunci pandangannya pada hamparan langit Skotlandia yang terbentang diatasnya. Sekilas nampak seperti tidak mengakui akan keberadaan si peri rumah di dekatnya.
“Your presence is requested by Mister.”
Gantt kembali mencicit, menjelaskan maksud kedatangannya, membuat alis pemuda itu seketika bertaut. Marcus—memanggilnya? Tidak biasanya. Selama ini ayahnya itu lebih senang berurusan dengan putra kebanggaannya, dengan Sherlock, kakaknya—memang siapa lagi? Dia? Ha, kau salah besar. Keberadaannya selama ini bahkan seperti tak pernah dianggap oleh Marcus. Yang ada di benak ayahnya hanyalah Sherlock, Sherlock dan.. Sherlock. Tidak pernah namanya. Sigh.
“Berhenti memandangku seperti itu, Gantt.” si pemuda mulai angkat bicara, membiarkan nada tidak suka berkeliaran bebas dalam suaranya saat menyadari mata besar Gantt yang sudah berani menatapnya. “Maafkan Gantt, tuan..” Si peri rumah meremas-remas bajunya, tubuhnya gemetaran. Membungkukkan kembali badannya dalam-dalam hingga hidung pinokio-nya hampir menyentuh tanah pekarangan. “Gantt tidak pernah bermaksud untuk—”
“Kau bisa pergi sekarang.” Ia menyela, tak mau lebih larut terlibat perbincangan dengan si peri rumah.
“Yes, Sir.”
‘PLOP’—Lecutan cemeti.
xXx
“Memanggilku, ayah?”
Deryck menutup pintu di belakangnya. Berdiri tegak dengan kepala yang sedikit menunduk—formalitas. “Deryck, my son..” sebuah bisikan menyambut kedatangannya. Satu tangan Marcus bertumpu pada bahu sofa, memberikan isyarat lewat matanya akan keberadaan sebuah benda yang tergeletak diatas meja; sebuah surat. “For you,” Rasanya ia tidak perlu bertanya mengenai perihal surat tersebut. Usianya genap sebelas tahun sekarang—dan empat bulan lagi duabelas—pertanda kalau saat baginya sudah tiba. Sebuah masa dimana dia akan menempuh pendidikan sihir di Durmstrang, seperti halnya Sherlock dan juga Marcus.
Pria itu menghela nafas sesaat sebelum menyambung kalimatnya, “..from Hogwarts.”
Wait—Hogwarts? Dia tidak salah dengar ‘kan?
“You say, Hog..warts?” Jangan tanya mengapa ada nada terkejut yang ditemukan dalam suaranya saat itu. Ayolah, semua juga tahu kalau ke-semua generasi Bradley adalah lulusan Durmstrang. Tidak pernah ada dalam sejarahnya seorang Bradley bersekolah di Hogwarts—atau bahkan Beauxbatons sekalipun. Ah, mungkin ada—dirinya, nanti. N’ope, bermimpi pun ia tak pernah.
“Are you kidding, father? So.. funny.” Ujarnya santai, nadanya seperti seolah dia baru saja mendapati sebuah lelucon konyol, mengucapkan kata ‘funny’ tanpa ada perubahan raut berarti di wajahnya sama sekali—datar, tanpa ada tawa ataupun seringai. Sebuah topeng, guna menutupi sebersit kecemasan yang kini menderanya.
“I’m not kidding, son..”
Pemuda itu bergeming. Menatap penuh sosok pria yang kini tidak sedang memetakan seringai canda, impresif seperti biasa. Untuk sesuatu seperti ‘selera humor’, ayahnya (dan ia pun juga sama) memang agak di luar daftar. Direnggutnya segera sepucuk amplop kekuningan dengan segel ungu dari atas meja. Membacanya. Memastikan.
Sontak rahang pemuda itu mengeras. Tak ada lagi ekspresi datar yang sedari tadi ia pertahankan, hanya tersisa guratan shock di wajah kakunya. “I don’t believe this. This is impossible, rite?” Sebuah elakan, tentu saja. Yang benar sajalah, mana ada takdir yang melenceng seperti ini. Ya, takdir; karena nyatanya Durmstrang adalah takdir setiap Bradley. Durmstrang bukanlah pilihan. Dan Durmstrang selalu memilih Bradley-Bradley junior untuk menempuh pendidikan sihir (terutama ilmu sihir hitam) disana. Tak pernah luput, barang seorang pun.
“Kemungkinan itu selalu ada.” Marcus beranjak dari kursinya, berjalan perlahan menuju jendela, melanjutkan perkataannya tanpa menoleh ke arahnya. “The Shellden had schooled in ‘Ogwarts too..”
The Shellden had schooled in Hogwarts, katanya?
“Mum didn’t.” sergahnya cepat. Meskipun ibunya sudah keburu mati—bahkan sebelum dia bisa merangkak—tapi ia tahu kalau ibunya adalah seorang lulusan Beauxbatons. Yeah, dan ia pun juga tahu perihal fakta bahwa beberapa peranakan Shellden menjadi penghuni sekolah sihir di Britania Raya itu—dan jangan hubungkan dia dengan itu semua, dia berbeda y’know. “And I am a Bradley, father..” frasanya ditahan, menimbang, “and the right place for Bradley is Durmstrang, isn’t it?” Sepasang mata milik pemuda berambut gelap itu memandang ganjil punggung tegap sang ayah sementara alis hitamnya menyatu, mulai merasa dipermainkan.
“How if.. that I chose Hogwarts to you, hm?”
“… … …”
“Son, I have a mission for you.”
Rasanya ia mulai mengerti kemana arah pembicaraan kali ini. Tak perlu lagi ia banyak bertanya, baginya semua sudah terasa jelas. Ketika Marcus sudah membuat keputusan, bisa apa orang lain? Null. Marcus menginginkannya bersekolah di Hogwarts—bukan Durmstrang. Dan dia, tak pernah sekalipun meragui setiap keputusan yang diambil oleh ayahnya.
“Would you?”
Dan sebuah anggukan yang pemuda itu beri kemudian.
Jika ini adalah cara untuk membuat ayahnya bangga padanya, kenapa tidak?
“Yes, I will.”
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar